KBMTV ID

Cinta Pertama

Sinopsis:

Yudi Bintoro, saat masih duduk di bangku SMA menyukai Ayu Lingga, gadis tercantik dan mempesona yang banyak memikat siswa laki-laki di sekolah. Yudi Bintoro hanya mampu memperhatikan Ayu Lingga dari kejauhan dan tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Apalagi bila mengingat Ayu Lingga dengan latar kehidupannya Yudi Bintoro bagaikan bumi dan langit.

Beberapa tahun kemudian, nama Yudi Bintoro melejit setelah hits lagunya “Cinta Pertama” telah  populer dan menjadi trending topik di berbagai platform media sosial. Namun sebaliknya Ayu Lingga saat ini hanyalah seorang guru di sebuah sekolah dasar yang tidak terkenal.

Hingga pada suatu hari, Ayu Lingga mengantarkan seorang murid sekolahnya dan mengira muridnya itu adalah putra dari Yudi Bintoro.

 

Bagian 1

Awan masih mendung di awal musim penghujan, walau masih menyisakan hembusan angin musim kemarau.

Terlihat anak-anak masih berkeliaran di halaman sekolah, ada yang bermain dan bergerombol di pinggiran luar kelas.

Ayu Lingga masih memeriksa hasil pekerjaan rumah murid-muridnya, dan sesekali mengerutkan kening melihat hasil kertas soal-soal.

Hingga pada satu ketika seorang gadis kecil berlari kecil masuk ke kantor sambil berteriak, “Ibu guru, Anto nakal, dia menjambak rambutku!”

Ayu Lingga menghela nafas, sambil mengulurkan tangannya menyentuh belakang kepala gadis kecil itu. Kemudian ia menoleh ke belakang dan melihat seorang anak laki-laki gemuk bersembunyi di balik pintu ruang kantor guru, sambil matanya mengendap melihat ke ruang kantor guru.

Ayu Lingga beranjak dari tempatnya dan mendekat ke anak itu, namun anak laki-laki gemuk itu berbalik dan ingin lari.

“Anto, kesini!” ucap Ayu Lingga dengan lembut.

Si gendut Anto pun tak punya pilihan selain berjalan mendekat dengan malu-malu sambil tangan gemuknya memilin celana seragam sekolahnya.

Sorot mata Ayu Lingga seolah menghujam deras ke anak itu dengan satu pandangan, hingga si gendut Anto ketakutan dan langsung mencari-cari alasan.

“Ibu guru, aku tidak melakukan apa-apa,” kata si gendut Anto ketakutan.

“Kamu menjambak rambut ku keras sekali,” kata si gadis kecil sambil mengelap air matanya.

“Ibuku sudah mengepang rambutku ini, dan kamu merusaknya,” lanjutnya.

“Aku… Aku hanya bercanda.”

“Woo woo woo…”

“Anto!”

Ayu Lingga melambaikan tangannya, sebagai isyarat agar si gendut Anto mendekat.

“Kamu menyakiti teman sekolahmu, dan kamu tidak bisa bercanda yang membuat orang lain tidak suka, mengerti?” ujar Ayu Lingga lembut.

Si gendut Anto menundukkan wajahnya, seolah merasa bersalah.

“iya ibu guru,” jawabnya.

“Aku harus bagaimana ibu guru?”

Sambil menekuk wajahnya si gendut Anto berkata, “Maaf.”

“Ehm, tidak, tidak apa-apa,” jawab gadis kecil.

“Kalian berjabat tangan, dan kalian harus berkawan dengan baik mulai sekarang,” ucap Ayu Lingga lembut.

Melihat kedua tangan kecil itu saling berjabatan tangan, Ayu Lingga pun tersenyum.

“Sekarang kembali ke kelas kalian, di luar sudah mulai hujan dan jangan berada di luar dan basah,” kata Ayu Lingga lagi.

Keduanya pun beranjak pergi, sedangkan Ayu Lingga kembali ke mejanya dan meneruskan kembali pekerjaannya memeriksan soal-soal ujian siswa.

Baru saja beberapa saat Ayu Lingga memulai rutinitas pekerjaannya, perasaannya kembali dibuat terkejut.

“Ibu guru! Ibu guru! Angga Bintoro dengan Adinung Ging sedang berkelahi”

Cetar… hati Ayu Lingga terasa seperti tersambar petir.

Hanya dalam tempo sesingkat-singkatnya dan dalam waktu secepat-cepatnya, nyaris baru 30 menit sudah ada lima anak-anak muridnya mengadukan beragam masalah.

Bukan hanya soal mengambil barang milik temannya, tetapi ada yang beradu mulut saling bersilat kata-kata bagai debat tak berujung di sebuah acara siaran televisi.

Namun aduan kali ini soal perkelahian antar siswa.

Jika saja ada komisi perlindungan guru, ia mau mengadukan masalahnya. Sayangnya tidak ada di dunia ini komisi perlindungan guru.

Baru saja dua minggu ia menggantikan kepala sekolah, ada saja aduan masalah dari siswa-siswanya.

“Lalu aku harus mengadu kemana?” sesal Ayu Lingga.

Jika ini terus berlangsung selama tiga bulan kedepan menggantikan kepala sekolah yang sedang cuti, Ayu Lingga sudah tak kuat lagi dan bisa mati beridiri.

“Ini harus ada kompensasi atas kerugian mental aku!” teriaknya dalam hati.

“Kenapa mereka berkelahi?” tanya Ayu Lingga.

Si bocah laki-laki  yang datang mengadu itu hanya bisa menggelengkan kepala plontosnya.

“Aku nggak tau ibu guru, awalnya mereka hanya bermain, tapi tiba-tiba mereka mulai berkelahi! Angga Bintoro galak!”

Ayu Lingga hanya bisa menghela nafasnya, meski demikian guratan wajah cantiknya masih tetap terlihat.

Ia pun langsung bergegas menuju kelas.

Hanya dalam hitungan menit, guru cantik Ayu Lingga sudah berada di dekat pintu kelas, keriuhan suara anak-anak terdengar keras sampai ke luar kelas.

“Ada apa ini!” Ayu Lingga bergumam dan segera mempercepat langkahnya.

Baru saja ia mulai melewati pintu kelas, terdengar tangisan seorang anak yang melengking.

“Diam!” ujar Ayu Lingga tidak sabar.

“Semuanya diam!” ulangnya lagi.

Saat anak-anak menoleh kompak dan mendapati wajah Ayu Lingga dengan sorot mata tajam, anak-anak pun mencari tempat bersembunyi di balik meja belajarnya masing-masing.

Setelah kerumunan anak-anak bubar, Ayu Lingga melihat seorang bocah berambut ikal sedang tiduran telantang tidak bergerak dan di atasnya duduk seorang anak lain.

“Hentikan!”

Ayu Lingga langsung bergegas ke arah dua anak yang sedang bertumpuk itu, tampak wajah Angga Bintoro berlumur darah.

“Adinung Ging, berhenti! Jangan berkelahi lagi!” tagas kata-kata Ayu Lingga.

Adinung Ging yang mendengar kata-kata Ayu Lingga ketakutan, dan ia pun terburu-buru bangkit dari tubuh Angga Bintoro.

Guru lain pun datang menyusul kemudian setelah perkelahian, mereda datang dengan membawa kotak obat-obatan.

“Tidak ada luka yang serius, hanya saja hidungnya yang terkena, hentikan saja pendarahannya,” kata rekan guru.

Guru-guru di sekolah dasar itu sudah terbiasa melerai perkelahian antar sesama siswa.

Rekan guru itu memberikan kain disinfektan kepada Ayu Lingga, memberi isyarat agar menyeka dengan tangannya.

Setelah mendapatkan isyarat itu, detak jantung Ayu Lingga sedikit melambat.

Untungnya, tidak ada hal besar yang terjadi, Angga Bintoro hanya sedikit mimisan. Ayu Lingga mengulurkan tangannya dan menyeka wajahnya beberapakali, kemudian  ia menyekanya ke seluruh wajahnya.

Dia mengerutkan kening, menatap bocah laki-laki di depannya, dan bertanya, “Mengapa kamu memukul kawanmu sendiri?”

Hidung Angga Bintoro disumpal dengan kain kasa, dan penampilannya menjadi terlihat lucu.

Melihat ekspresi wajahnya, kini dia lebih terlihat seperti karakter kartun.

“Kamu tidak mau mengatakan apa pun?”

Ayu Lingga berkata dengan sungguh-sungguh.

“Tidak masalah jika kamu yang melakukan kesalahan, tapi yang penting kamu punya sikap yang benar.”

“Katakan pada ibu guru, mengapa kamu berkelahi?”

Hening tidak ada jawaban “…”

Melihat Angga Bintoro menolak untuk berbicara, Ayu Lingga akhirnya merubah sikapnya dengan bersikap lembut.

Dia berjongkok di depan Angga Bintoro, menyentuh rambutnya yang basah berkeringat, dan berkata dengan lembut, “Katakan pada ibu guru.”

Suara renyah Ayu Bintoro seperti pasta kacang halus yang mengalir keluar dari nasi ketan, begitu lembut dan manis sehingga membuat rekan guru di sampingnya ikut merasa meleleh hatinya.

Namun bocah tujuh tahun ini masih tetap cuek, menoleh dan tidak berkata apa-apa.

“Jika kamu masih tidak mau bicara…”

Ayu Lingga berkata, “Ibu Guru terpaksa berbicara dengan orang tuamu.”

“Masalah ini hanya bisa dibicarakan kepada orang tuanya,” pikir Ayu Lingga.

Begitu masalah perkelahiannya ini akan diadukan kepada orang tuanya, sikap anak yang awalnya masih keras pun langsung berubah panik ketika mendengar gurunya akan melibatkan orang tuanya.

Pupil matanya yang gelap gulita, berguling seperti anggur hitam.

“Begini ibu guru,  Adinung Ging mengejekku lebih dulu!”

Ayu Lingga pun bertanya dengan keheranan, “Kenapa dia mengejek kamu?”

Angga Bintoro ingin membuka mulutnya bersuara, dan dia hendak mengatakan sesuatu, tetapi tak satu kata pun terpikirkan olehnya.

Bibir Angga Bintoro mengerut, wajahnya kini berubah seperti buah salak yang bersisik tajam.

“Apa pun masalah kalian, kita tidak bisa menyelesaikan masalah dengan pukulan tangan kita,” Ayu Lingga menasehati.

Tidak ada yang mengetahui dibalik suara lembut Ayu Lingga yang masih menampilkan sosok ibu guru yang bijak, sebenarnya di dalam dirinya sudah habis kesabarannya.

“Ibu guru terpaksa harus memanggil orang tua mu ke sekolah, jika kamu masih tidak mau bicara,”

Pipi Angga Bintoro tiba-tiba memerah, dan jari-jarinya memainkan ujung bajunya dengan gelisah.

Setelah beberapa saat, dia tergagap dan berkata, “Aku… ayah aku sangat sibuk!”

“Sibuk apa ayah kamu?”

“Sesibuk apa pun, ayah kamu harus datang jika sekolah memanggilnya datang.”

“Ayah aku, seorang dokter! Ayah sibuk menyelamatkan pasien setiap hari!”

“Dokter juga punya waktu libur.”

Ayu Lingga kemudian berkata santai, “Ibu guru bisa datang ke rumah sakit untuk mendatangi ayah kamu.”

Sontak wajah Angga Bintoro pucat pasi.

Sepandai apa pun anak-anak, saat berbohong tidak akan bisa menutupi ketakutannya saat kebohongannya terbongkar.

Melihat dirinya akan dipermalukan, Angga Bintoro menundukkan kepalanya sambil berputar keras otaknya mencari-cari alasan lagi.

“Tidak, tidak, ayahku sudah ganti karier! Dia tidak lagi bekerja di rumah sakit!”

“Oh ya?” sahut Ayu Lingga.

“Ayah ku seorang artis hebat,” Angga Bintoro memutar matanya dan mengigat sesuatu, “Dia selalu keluar dengan mobil yang sangat keren saat bepergian!”

“Ratusan reporter akan selalu mengelilinginya! Para penggemar akan selalu meminta foto bersamanya, dia selalu menghasilkan uang! Ibu guru, jika kamu tidak membeli tiket konser musiknya, ibu akan sulit untuk melihat ayah ku!”

“Angga Bintoro, mengapa kamu tidak bilang saja sekalian bahwa ayahmu adalah seorang astronot dan tidak ada di Bumi sekarang?” tanya ayu mengejek.

Ayu Lingga sambil menahan keinginan untuk tertawa, mengeluarkan ponselnya, dan berkata, “Angga Bintoro, setiap orang pernah membuat kesalahan, selama kamu bisa memperbaikinya, maka kamu adalah masih anak yang baik,”

“Tetapi kamu salah jika kamu berbohong,” tegas Ayu Lingga.

Dengan sigap Ayu Lingga membuka ponselnya dan membuka grup percakapan untuk mencari nama kontak orang tua. “Ayah Angga Bintoro”

Belum lagi Ayu Lingga menekan kontak nomornya untuk menelpon, Angga Bintoro dalam sekejap melompat dan menarik sudut pakaian Ayu Lingga dengan mimik wajah sedih dan air mata berlinang.

“Ibu guru … mohon jangan beri tahu ayahku, dia nanti akan memarahiku …”

Ayu Lingga melirik sekilas dan  menghela nafas, seakan niatnya menekan telepon tidak bisa ditunda lagi.

“Apa kamu sekarang ingin memberi tahu ibu guru? Kenapa kamu berkelahi?”

Angga Bintoro akhirnya tidak bisa membendung tangisannya, sambil berkata, “Adinung Ging mengatakan, ibuku tidak menginginkan aku lagi, ayahku juga tidak menginginkanku lagi.”

Jauh hari sebelum Ayu Lingga menggantikan posisi kepala sekolah sementara, Ia sudah mendapatkan beberapa wawasan umum perihal para siswa.

Menurut kepala sekolah sebelumnya, Angga Bintoro adalah anak dari orang tua tunggal. Kehidupan ekonomi keluarganya dalam kondisinya sangat baik, tetapi ayahnya yang sangat sibuk maka seorang pengasuh rumah yang mengurusnya sehari-hari.

Bahkan setiap kali ada pertemuan orang tua, malah pengasuhnya yang selalu mewakili, selain tugas sahari-harinya untuk menjemput dan mengantar Angga Bintoro. Bahkan saat mendaftarkan dirinya pada awal pembelajaran tahun lalu, pengasuhnya yang mengurus keperluan Angga Bintoro.

Mendengar apa yang dikatakan Angga Bintoro, hati Ayu Lingga menusuk tajam menahan kemarahan.

“Baiklah kalau begitu, ibu guru akan memanggil Adinung Ging untuk memberinya teguran. Tapi kamu harus ingat, apa pun yang terjadi kamu tidak boleh menganiaya orang lain dengan pukulan untuk meyelesaikannya, apa kamu paham?” tegas Ayu Lingga.

Angga Bintoro mengangguk setuju.

***

Hari ini terasa berat harus dijalani Ayu Lingga setelah mendapat tugas menggantikan kepala sekolah. Matahari pun sudah mulai meninggi.

Tidak lama, bel sekolah pun berbunyi sebagai tanda akhir pembelajaran hari ini.

Ayu Lingga menarik nafas lega, menggosok lehernya untuk menghilangkan penat setelah seharian banyak masalah siswa mendera.

Ayu Lingga teringat saat pertama kali melihat kepala sekolah yang lama, Nengsih Cantik terlihat seperti berusia akhir 30an menjelang 40-an. Pantas lah Nengsih Cantik yang usia sebenarnya baru 28-an tahun, tetapi tampilan wajahnya sudah lebih tua dari usia yang sebenarnya.

Setelah membenahi meja kerjanya sebentar, Ayu Lingga beranjak untuk memeriksa siswa-siswanya di kelas.

Sekolah sudah mulai sepi karena para siswa sudah beranjak pulang.

Setelah memeriksa semua pokok ruangan kelas-kelas di sekolah, Ayu Lingga pun berencana untuk pergi dan bersiap untuk pulang.

Namun matanya tertumbuk pada seorang bocah yang kesepian dan tampak bosan menunggu sesuatu.

“Angga Bintoro?”

Ayu Lingga terkejut, reaksi pertamanya adalah merenungkan kembali, apakah ada perkataan sebelumnya yang membuat dia menyakiti perasaan anak itu.

“Kenapa kamu belum pulang?”

Angga Bintoro di sudut berbaring di atas meja dan berkata dengan cemberut, “tidak ada yang menjemputku.”

Ayu Lingga segera mengangkat tangannya untuk melihat arlojinya.

“Ini sudah hampir jam lima sore, di mana orang tuamu?”

“Aku tidak tahu,” jawab Angga Bintoro singkat.

“Apakah pengasuh kamu tidak datang menjemput? ”

Angga Bintoro mengusap matanya yang tidak gatal, suara serak keluar dari mulutnya, “Aku tidak tahu …”

“…”

Ayu Lingga tidak tahu harus berkata-kata.

“Jangan berada di kelas sendirian, ikut Ibu ke kantor dan kerjakan pekerjaan rumahmu sebentar, ibu guru akan menunggumu.”

Angga Bintoro mengangguk, meraih tas sekolahnya dan segera mengikuti Ayu Lingga.

Selama berjalan dari kelas menuju ruang kantor guru, Ayu Lingga segera menelpon pengasuh Angga Bintoro untuk menjemputnya.

Mereka kemudian sudah tiba di ruang kantor guru sekolah, mengatur tempat agar Angga Bintoro bisa mengerjakan tugas pekerjaan rumah. Sambil kemudian menatap lekat wajah siswa laki-laki itu dengan hati-hati.

Wajahnya terlihat halus dan cantik, alis bulu matanya lentik dan sepintas terlihat seperti kecantikan perempuan.

Sayangnya, orang tuanya tega membiarkan anak ini kesepian.

Dalam tempo setengah jam cepat berlalu, Ayu Lingga sudah berkali-kali mencoba untuk menghubungi orang tua Angga Bintoro, tetapi tidak juga berhasil dapat dihubungi.

Kini kompleks sekolah sudah mulai sepi dan para guru sudah pulang ke rumah masing-masing, sedangkan Angga Bintoro masih menunggu ada orang yang menjemputnya pulang.

Batery ponsel Ayu Lingga sudah hampir habis, dan ini membuat dirinya benar-benar jengkel dan mulai makin cemas melebihi kecemasan Angga Bintoro.

Andai saja dia tidak memeriksa kelas tadi, anak ini pasti masih menunggu sendirian di dalam kelasnya.

Apa jadinya jika dia pulang sendirian ke rumahnya?

Melihat hari sudah mulai gelap, anak ini belum juga makan malam, hujan rintik-rintik mulai turun dan membuat suasana menjadi agak dingin. Berdiam diri di kantor lebih lama hanya akan membuat masalah baru.

Ayu Lingga meraih tangan Angga Bintoro dan menghela nafas pelan.

“Hari sudah mulai malam, Ibu guru akan mengantarkan kamu pulang ke rumah”

Angga Bintoro juga tidak menolak tawaran Ayu Lingga dan segera mengangguk dan mengemasi buku-bukunya ke dalam tas sekolah.

Jarak rumah Angga Bintoro dan Sekolah tidak terlalu jauh, tapi harus melalui beberapa jalan besar yang dalam kondisi cuaca sedang turun hujan biasanya akan banyak terjadi kemacetan di jalan-jalan. Akibatnya baru setengah jam kemudian taksi online dari aplikasi datang menjemput.

Ayu Lingga melirik ke area lingkungan sekolah yang siswa-siswanya kebanyakan dari keluarga kaya, dengan kondisi ini membuat perasaan Ayu Lingga menjadi kesal.

Bagaimana tidak, sebagai seorang tua sibuk dengan urusannya sendiri, sedangkan anak-anaknya dibiarkan tumbuh dengan para pengasuhnya.

“Bagaimana orang tua Angga Bintoro ini  bisa menjadi seorang ayah jika dia begitu tidak bertanggung jawab?” monolog Ayu Lingga.

Pemikiran itu kemudian dia tepis, memaklumi kondisi ayah Angga Bintoro yang menjadi seorang ayah tunggal dan saat bersamaan harus menghasilkan uang untuk menghidupi keluarganya. Mungkin si Ayah dengan menyerahkan segala urusan kepada pengasuh akan baik-baik saja dalam urusan di sekolah.

“Namun sesibuk apapun, orang tua harus bisa menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga,” dialog Ayu Lingga dalam pikirannya.

Dia memikirkannya baik-baik, apakah merasa perlu untuk mencari kesempatan untuk mengobrol baik-baik dengan ayah tunggal ini.

Tiba-tiba ponselnya berdering, sempat ragu-ragu sebentar akhirnya Ayu Lingga menerima panggilan telepon yang datang dari pengasuh.

“Selamat sore, ibu guru?” pengasuh itu berkata dengan penuh semangat,

“Apakah Angga Bintoro masih berada di sekolah?”

Dengan agak ketus Ayu menjawab, “kapan Anda menelepon, sekarang saya sudah akan mengantarkannya ke tempat tinggal anda.”

“Ups! Syukurlah… Tadi membutku khawatir!” jawab pengasuh di ujung sana.

Agak gugup pengasuh kemudian melanjutkan, “Ini semua kesalahanku! Tadi ada kecelakaan di jalan, tapi aku sudah menanganinya sekarang. Aku benar-benar minta maaf karena telah merepotkan ibu guru. Ayah Angga Bintoro kebetulan ada di rumah hari ini. Aku lega ibu guru sudah mengantarkannya ke rumah!”

Ayah anak itu sebenarnya ada di rumah? Ayu Lingga berkedip.

Tidak menyangka, dia ingin mencari kesempatan untuk bicara dengan orang tua anak ini, tetapi sangat kebetulan ayahnya ada di rumah.

“Baiklah, aku mengerti.”

Ayu Lingga segera menutup telepon, menepuk kepala Angga Bintoro, “Mbak pengasuh kamu mengatakan ayahmu ada di rumah hari ini, apakah ada yang ingin ibu guru sampaikan kepada ayahmu? Nanti ibu guru akan menyampaikannya kepada ayahmu.”

Tentu saja permintaan Ayu Lingga berbeda makna dengan yang dicerna Angga Bintoro.

Bukankah itu berarti gurunya akan mengadukan masalah perkelahian tadi di sekolah akan disampaikan kepada ayahnya? Pikir Angga Bintoro.

Kalau-kalau ayahnya tahu bahwa dia berkelahi di sekolah hari ini …

Ayu Lingga sudah berjalan ke arah pintu rumah, ketika tiba-tiba Angga Bintoro langsung berdiri dengan gesit di hadapannya.

Pintu pun terbuka dan Angga Bintoro bergidik.

“Terima kasih ibu guru telah mengantarkan aku pulang! Ibu guru tidak perlu mengatakan apa pun kepada orang tua saya, terima kasih ibu guru!”

Ayu Lingga tidak punya banyak waktu memikirkan apa yang ada di benak Angga Bintoro saat ini.

“Ibu guru datang ke sini tidak untuk mengatakan tentang kesalahan kamu,” sambil kemudian mengulurkan tangannya untuk membunyikan bel pintu.

“Ibu guru…. Jangan… jangan…”

Namun sudah terlambat, seorang laki-laki terlihat sudah membuka pintu rumah.

“Siapa?”

Baik Ayu Lingga dan Angga Bintoro terkejut sesaat.

Ayu Lingga melihat sekilas ke arah Angga Bintoro.

Ia tidak menyangka suara ayah tunggal ini begitu baik.

Kedengarannya sangat muda.

Bagian 2

Berita Terkait