Bagian 4
Setelah Shandy Buansi selesai mengerjakan pekerjaan rumahnya, kini sudah waktunya untuk makan malam.
Ia tidak mau bermalas-malas di rumah Ibu Indri, keluarga yang telah menolongnya untuk bisa melanjutkan sekolahnya lagi. Bahkan SMA Pelopor merupakan sekolah terbaik yang tidak semua orang seperti dirinya bisa memiliki kesempatan itu.
Pandangan kedua pengurus rumah Ibu Indri, yakni Bibi Ratna dan Pak Rinto memperhatikan dengan sorot mata curiga. Namun Shandy tidak mau repot-repot memperhatikan pandangan mereka itu kepada dirinya.
Shandy mencuci sayuran dengan bersih, beberapa biji-bijian sayuran lainnya pun ia bersihkan.
Sebenarnya ia ingin membawa makanan sebagai bekal untuk membawanya besok ke sekolah. Setelah ragu-ragu sebentar ia pun mengumpulkan segenap keberaniannya meminta ijin kepada Ibu Ratna dengan sopan.
“Bibi Ratna, apakah saya besok boleh memasak sesuatu untuk bekal besok di sekolah?”
Bibi Ratna melihatnya dengan heran.
“Apa kamu tidak menyukai makanan yang kami masak?”
Tentu saja, Shandy tidak berani mengatakan alasan sebenarnya. Ia hanya menggelengkan kepalanya.
“Kebetulan aku menyukai masakan yang ku buat sendiri.”
“Bibi, apa aku boleh membantu memasak?”
Tiba-tiba suara Sistem terdengar di kepalanya, “Belajar akan membuat orang berkembang dan memiliki kemampuan beragam. Selain belajar melalui tugas-tugas di sekolah, belajar keterampilan akan berguna untuk membantu kamu dalam kehidupan.”
“Membuat masakan sop iga asam pedas akan mendapatkan hadiah 10 ribu rupiah,” Sistem berkata lagi.
Ternyata Sistem mengetahui di dapur terdapat bahan-bahan untuk membuat sup Iga asam pedas.
Shandy Buansi sudah terbiasa memasak selama di kampung, ayahnya sering mengajaknya untuk membantu memasak pada acara-acara pesta atau perhelatan di desa untuk mendapatkan uang tambahan. Maka untuk memasak sup dan lauk lainnya, Shandy tidak akan mengalami kesulitan.
Awalnya Bibi Ratna ingin menolaknya untuk membantu memasak, tetapi Pak Rinto malah membolehkan Shandy untuk membantu.
“Oke, kamu boleh ikut mencoba,” kata Pak Rinto.
Sitem kemudian menunjukkan cara memasak sup iga asam pedas, tampilan layar yang berisi informasi masakan segera terlihat dan hanya bisa dilihat oleh Shandy Buansi.
Shandy Buansi pun mengikuti petunjuk memasak sup iga asam pedas yang diberikan oleh Sistem, mulai dari membersihkan, memotong sampai merebus daging iga sapi. Ia kemudian meracik bumbu-bumbu, cabe merah, bawang putih sayuran mulai disiapkan.
Kepala pengurus rumah, Pak Rinto memperhatikan Shandy mulai dari meracik bumbu sampai memasak. Dia sedikit terkejut melihat Shandy gerakannya cekatan dan terampil dalam mengolah bahan-bahan masakan.
Pak Rinto mengerti, biasanya anak-anak dari keluarga miskin memiliki tanggung jawab dalam hidupnya sejak kecil, dan terbiasa bekerja untuk membantu keluarga mereka untuk mendapatkan uang tambahan.
Shandy Buansi membuat satu masakan, sedangkan Bibi Ratna membuat empat masakan lainnya.
Setelah itu Pak Rinto pun kemudian meminta Shandy untuk memanggil tuan muda Ryan Hidayat untuk makan malam.
Shandy pun menuruti perintah pak Rinto dan segera naik ke lantai dua. Setelah mengetuk pintu kamar Ryan tidak ada jawaban, ternyata dia berada di ruang belajarnya mengerjakan tugas pekerjaan rumah.
Pintu ruang belajar terbuka dan melihat Ryan yang mengenakan t-shirt tipis dengan lengan digulung, memperlihatkan otot lengannya yang kencang sedang berbicara di ponselnya.
Ekspresinya tampak acuh tak acuh.
“Oh, nggak masalah kalau gak bisa pulang, ini hanya hari ulang tahun aja kok,” kata Ryan berbicara di ponsel.
Ryan melihat Shandy di depan pintu yang sedang menatapnya, lalu segera mengakhiri panggilan teleponnya.
Ryan pun menghampiri pintu ruang belajarnya, dan membuka lebar pintu ketika Shandy baru saja ingin mengetuknya.
“Loe Shandy Buansi?”
Ryan mengeluarkan segepok uang kertas dari dompetnya, lalu menyerahkannya ke Shandy.
“Ini ada titipan dari mama untuk kamu.”
Seketika itu pula Shandy tercengang melihat uang sebanyak itu.
“Nggak cukup?…” tanya Ryan.
Bagi tuan muda seperti Ryan Hidayat, segepok uang itu sama sekali tidak berarti, bagi mereka uang sebanyak itu bagai uang recehan.
Setiap bulan Ryan Hidayat menerima uang tunai sebagai uang saku sebesar 250 juta rupiah dari Ibu Indri, jumlah ini tentu saja tidak seberapa. Belum lagi setelah dia di SMA, beberapa rekening bank telah dibuatkan atas nama Ryan Hidayat sendiri. Bahkan, keuntungan dividen perusahan, akan langsung masuk ke dalam rekening bank Ryan Hidayat.
Bagi Ryan dengan uang jajan sekolah sebanyak itu, dia biasa makan jutaan rupiah untuk sekali makan di luar bersama teman-temannya.
“Terima kasih, aku tidak membutuhkannya,” Shandy menolak dengan sopan.
Ryan pun mengeluarkan semua uang di dalam dompetnya, memberikan lagi ke tangan Shandy.
“Ambil ini semua,” kata Ryan dengan kesal.
Ryan menatap hina ke Shandy yang miskin yang jarang makan itu.
Dia melihat gadis dari pelosok kampung ini kurang gizi, tubuhnya seperti papan cucian. Hampir-hampir saja Ryan tidak percaya masih ada anak kurus seperti ini di dunia.
Shandy Buansi masih ingin menolak lagi, tetapi Ryan melototinya dengan jengkel. Sambil dengan kesal Ryan langsung turun ke lantai bawah.
Melalui sorot mata Ryan, Shandy Buansi merasakan dirinya seperti sebagai orang jelek yang sering membuat masalah.
Shandy sama sekali tidak peduli uang pemberian Ryan. Namun dengan terpaksa harus menerimanya.
Shandy kemudian menghitung uang yang ada di tangannya, pecahan uang 100 ribuan sebanyak 45 lembar.
Melihat uang sebanyak itu, Shandy sangat terkejut. Sementara sikap Ryan tadi, uang yang diterimanya seperti memberikan kertas biasa saja.
Berbeda jauh dengan dirinya, saat ini harus berjuang untuk mendapatkan 5 ribu rupiah, agar dia bisa bertahan hidup dan menjaga harga dirinya.
Seumur hidup Shandy Buansi yang dari pelosok kampung, jangankan memegang segepok uang di tangannya, bahkan melihatnya pun belum pernah.
Hidup bersenang-senang dan bisa membeli barang-barang seperti pakaian, tas, sepatu, peralatan make-up, perawatan tubuh, bahkan menikmati makanan enak di restoran sudah menjadi keinginan alami anak gadis seusianya.
“Hati-hati nak, pikiran mu kini berbahaya,” suara Sistem terdengar di kepalanya.
Shandy merasakan sikap keluarga Ibu Ratna yang acuh tak acuh kepada dirinya, tetapi dalam hal makanan dan pakaian sama sekali tidak memperlakukannya dengan buruk.
Beberapa saat kemudian, Shandy akhirnya memutuskan untuk mengembalikan uang itu, nanti dia akan mengembalikan uang itu cara memberikan hadiah kepada Ryan pada saat ulang tahunya nanti.
Ia tersenyum, pergi ke kamarnya dan mengambil kotak kertas, menuliskan kata “Ryan” dengan pulpen dan memasukkan ke dalamnya.
“Aku akan belajar dengan keras untuk mendapatkan uang,” ujar Shandy.
Sistem pun akhirnya kembali tenang.
Vila rumah Ibu Indri sangat lah besar, banyak kamar-kamar yang kosong tidak ada penghuninya. Biasanya hanya ada Ibu Indri dan Ryan yang menempati, selain para pengurus rumah dan beberapa asisten rumah.
Sup iga asam pedas masakannya pun telah siap sebagai menu hidangan makan malam.
“Ding, hadiah 5 ribu rupiah sudah bisa kamu dapat, berhasil membuat sup iga asam pedas,” Sistem memberitahu.
Shandy segera merogoh ke dalam sakunya, dan menemukan selembar uang kertas lima ribu rupiah.
Di meja makan itu sudah siap dua set piring makan, Shandy takut-tukut duduk berdekatan di meja makan dengan Ryan.
Ryan tetap acuh dan tidak memperhatikan kegugupannya, ia segera mengambil sup iga asam pedas, kemudian dengan lahap memakannya tanpa ragu-ragu. Shandy tidak berani menyentuh sama sekali sup iga asam pedas buatannya, karena Ryan sepertinya sangat menyukai dan mengambil beberapa kali lagi sampai habis.
Keheningan di meja makan segera cepat berlalu dan Ryan Hidayat kemudian pergi ke lantai atas setelah selesai makan malam.
Sementara Shandy berinisiatif membereskan meja makan dan mencuci piring bekas makan mereka.
Masih berada di dapur, ia lalu menyiapkan makanan untuk bekal makan siang di sekolah.
Setelah kembali ke kamarnya dan hendak menyiapkan kembali tugas pekerjaan rumah, ayahnya menelpon dari kampung halaman.