Jakarta, KBMTV — Ekonom senior Faisal Basri mengatakan pandemi Covid-19 telah membuka “kotak pandora” atau fakta yang menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia rapuh.
Menurutnya, krisis yang terjadi sekarang berbeda dengan sebelumnya, misalnya depresi besar (The Great Depression) pada 1929-1939 yang dipicu oleh sektor keuangan. Saat ini, krisis dunia dipicu oleh krisis kesehatan berupa pandemi virus Covid-19.
“Dari krisis masa pandemi, prinsip yang benar adalah saving lives is saving the economy. Bukan semata disrupsi ekonomi dan kesehatan, melainkan meliputi hampir semua aspek kehidupan sosial, budaya, politik dan pertahanan,” katanya dalam acara diskusi publik Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dengan tema “Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Fondasi Ekonomi & Agenda Pembangunan di Indonesia”, Jumat (13/8/2021).
Menurut Faisal, penyembuhan dari krisis akibat pandemi Covid-19 harus menggunakan pola pikir baru, lintas disiplin, serta melibatkan semua kepentingan.
Pemerintah, kata dia, seharusnya mengatasi pandemi Covid-19 terlebih dahulu.
“Pemulihan ekonomi akan lebih mudah mengatasinya jika pandemi berhasil diatasi,” lanjutnya.
“Pandemi telah membuka ‘kotak Pandora’ yang ternyata membuktikan bahwa struktur ekonomi Indonesia memang rapuh,” jelasnya.
Pertumbuhan Produktivitas
Selajutnya, dia mengatakan mayoritas penduduk masih tidak merasa aman dimana ketimpangan cenderung meningkat. Bukan itu saja, value exraction kian dominan ketimbang value creation. Hal itu menyebabkan pertumbuhan produktivitas (total factor productivity) melambat bahkan mengalami penurunan.
Menurutnya, detak jantung ekonomi Indonesia semakin melemah. Dia mengatakan sejak sebelum pandemi Covid-19 melanda memang sudah lemah dan saat ini semakin melemah.
Perbankan yang mengalami kondisi krisis dan belum mencapai pemulihan. Saat ini, dia menilai perbankan tidak pernah lagi jadi agent of development. Dengan kredit perbankan yang lemah, pemerintah justru mengundang investasi seperti smelter yang 90 persen untungnya jelas mengalir ke China.
Faisal mengatakan kelemahan berikutnya adalah Pemborosan. Di masa presiden-presiden sebelumnya, yaitu BJ Habibie, Megawati Soekarnopuri, dan Abdurrachman Wahid (Gusdur), dia mengatakan Incremental Capital Output Ratio atau ICOR Indonesia membangun 1 Km jalan hanya butuh 4 unit modal.
“Namun di zaman Jokowi butuh 6.5 unit modal. ICOR saat ini 6.5, 50 persen lebih tinggi dari negara lain,” jelasnya
Faisal menilai tingginya ICOR merupakan hasil rekayasa kelompok kepentingan plus oligiarki.
Supaya ICOR tetap tinggi, lanjutnya maka KPK dilemahkan agar “rezeki” APBN tetap “mengalir” ke lingkaran kekuasaan dan oligarki.
Bukan itu saja, dia mengatakan investor asing cenderung hanya mengeksploitasi hasil sumber daya ekstraktif seperti sawit, batu bara, nikel, dan timah, yang menyebabkan rusaknya lingkungan di wilayah-wilayah penghasil bahan-bahan ekstraktif di Sulawesi dan Kalimantan.
Menurutnya, cara mencegah perusakan ekonomi domestik oleh kelompok kepentingan adalah dengan merawat demokrasi dan Kebebasan sipil.
“Dengan demokrasi dan kontrol sipil yang kuat dan membuka ruang partisipasi rakyat, maka check and balance akan berjalan baik. Bersama-sama dapat mencegah kesewenang-wenangan,” ungkapnya.
Sumber: Bisnis.com