Myanmar, KBMTV – Sebagian pesar pelayanan medis di Myanmar kini berjalan di luar rumah sakit milik negara, sebab para dokter dan perawat lebih memilih setia kepada Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) yang menantang legitimasi junta militer, kata para pekerja medis di negara itu kepada BBC.
Sebagian besar nama orang yang diwawancarai telah diubah demi keamanan mereka.
Perlawanan mereka terhadap kudeta Myanmar -yang terjadi pada 1 Februari 2021- berawal ketika sejumlah tenaga kesehatan memboikot rumah sakit yang dikelola pemerintah. Mereka menjadi salah satu yang pertama berunjuk rasa di jalanan dan menyebutnya sebagai “revolusi jas putih”.
Hal itu menempatkan petugas medis pada posisi yang bertentangan dengan junta, sehingga menyebabkan pelayanan kesehatan berjalan sembunyi-sembunyi ‘di bawah tanah’.
Di berbagai daerah, lebih dari 70% tenaga kesehatan meninggalkan pekerjaan di rumah sakit dan pasien mereka. Tentu itu adalah keputusan yang sulit secara etika, tetapi dokter-dokter senior di Myanmar menyampaikan pertimbangan mereka melalui surat kepada jurnal medis The Lancet.
“Tugas kami sebagai dokter adalah memprioritaskan perawatan pasien, tetapi bagaimana mungkin kami melakukannya di bawah sistem militer yang melanggar hukum, tidak demokratis, dan menindas?”
“50 tahun pemerintahan militer sebelumnya telah gagal mengembangkan sistem kesehatan Myanmar, dan justru melanggengkan kemiskinan, ketidaksetaraan, serta perawatan medis yang tidak memadai. Kami tidak ingin kembali ke situasi itu.”
Seorang dosen di Universitas Keperawatan Yangon bernama Grace, mengatakan bahwa mereka “memilih bergabung dengan CDM [gerakan pembangkangan sipil].”
“Setiap pukul 8 malam kami menabuh panci dan menyanyikan lagu-lagu revolusioner di depan kampus. Kami sangat marah. Bagaimana bisa mereka [junta] menangkap pemimpin kami setelah mereka kalah dalam pemilu?”
Grace merupakan satu dari ribuan tenaga medis yang kehilangan akomodasi akibat meninggalkan pekerjaannya. Dia memilih bergabung dengan aksi protes dengan cara membantu orang-orang yang terluka.
“Kami menyiapkan ambulans apabila ada seseorang yang tertembak. Kekhawatiran terbesar kami adalah bagaimana mengevakuasi mereka ke tempat yang aman.”
“Untuk orang yang mengalami luka ringan, kami bisa membawa mereka ke ambulans dan merawatnya di sana. Tetapi untuk orang yang tertembak, kami harus mencari rute aman ke klinik yang kami dirikan di kuil dan kompleks biara.”
Di tengah keputusasaan ini, mereka membangun sistem kesehatan bayangan yang gagasan awalnya berada di bawah otoritas NUG, otoritas tandingan yang dideklarasikan pada April lalu untuk menentang junta.
Namun kenyataannya, sistem kesehatan bayangan ini dijalankan oleh ribuan sukarelawan di seluruh negeri di klinik amal dan rumah sakit swasta yang pemiliknya bersedia mengambil risiko. Mereka berkomunikasi melalui aplikasi yang terenkripsi agar tidak terdeteksi.
Mereka menyediakan pelayanan medis yang tidak lagi tersedia di rumah sakit pemerintah karena kekurangan staf dan cenderung dihindari oleh pasien yang menentang kudeta.
Dr Zaw Wai Soe, yang merupakan spesialis ortopedi sekaligus tokoh sentral dalam pemerintahan yang digulingkan untuk menangani Covid-19, merupakan Menteri Kesehatan NUG.
Dia menolak tawaran dari militer untuk menjadi wakil menteri kesehatan mereka, lalu memilih bersembunyi. Hal itu membuat Dr Zaw Wai Soe didakwa atas tuduhan pengkhianatan oleh militer.
NUG mengumpulkan dana dari diaspora Myanmar yang tinggal di luar negeri untuk mendukung para sukarelawan. Dia membuat layanan telemedicine melalui halaman Facebook, agar pasien bisa mendapat saran medis dari dokter-dokter yang bersembunyi.
“Kami tidak memiliki cukup uang,” kata Zaw Wai Soe kepada BBC, dari lokasi yang dirahasiakan.
“Kami mendapat dukungan dari masyarakat lokal dan para diaspora, tapi itu tidak cukup. Kami berusaha sekuat yang kami bisa untuk menyediakan layanan kesehatan yang layak.”
Pekerjaan Berbahaya
Bekerja “di bawah tanah” dan bertentangan dengan militer tentu berbahaya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Juli lalu mencatat bahwa setengah dari 500 serangan terhadap petugas kesehatan di dunia terjadi di Myanmar.
Laporan serupa di Universitas Manchester juga menyebutkan bahwa pada periode yang sama, sebanyak 25 tenaga kesehatan di Myanmar tewas, 190 orang ditangkap, dan 55 rumah sakit telah diduduki militer.
Luke merupakan seorang perawat ICU di sebuah rumah sakit swasta di wilayah Mandalay. Dia meninggalkan pekerjaannya segera setelah kudeta karena pemilik rumah sakit tempat dia bekerja berhubungan dekat dengan militer. Luke kemudian memimpin aksi protes.
“Mereka menangkap saya pada 5 April dan membawa saya ke Istana Mandalay (pusat komando militer di kota itu). Mereka berjanji tidak menyakiti kami, tetapi begitu kami tiba di sana, mereka memukuli dan menginterogasi kami.”
“Setelah itu mereka mengirim kami ke penjara Obo. Ada 50 orang dan kami ditahan di satu ruangan. Kami semua harus berbagi satu toilet, hanya bisa mandi sekali sehari, padahal saat itu musim panas. Kami juga tidak punya cukup air minum.”
Luke ditahan di penjara itu selama 87 hari dan akhirnya dibebaskan melalui pengampunan. Sekarang dia bekerja di ruang operasi yang tersembunyi di kontainer di wilayah Mandalay.
“Pencahayaannya tidak terlalu bagus, tapi kami berusaha melakukan apa yang kami bisa.”
“Saat di penjara saya melihat beberapa luka tembak tidak dirawat dengan baik di rumah sakit milik pemerintah, sehingga beberapa orang meninggal akibat luka itu.”
“Rumah sakit pemerintah memang memiliki peralatan yang lebih baik, tetapi mereka tidak memiliki banyak dokter spesialis dan perawat yang terampil. Mereka sering menolak pasien yang kritis. Saya rasa perawatan medis kami justru lebih baik, karena kami memiliki lebih banyak spesialis dibanding mereka, hanya saja kami tidak bisa bekerja secara terbuka.”
Beberapa perawat bercerita kepada BBC bagaimana mereka bekerja di klinik amal tersembunyi di wilayah Yangon dan Mandalay, yang disamarkan sebagai tempat tes Covid-19 demi menghindari penangkapan oleh militer. Sebagian besar telah berpindah tempat beberapa kali karena khawatir ditangkap.
Mereka pergi bekerja mengenakan pakaian biasa, bukan seragam tenaga kesehatan, dan meninggalkan ponsel mereka untuk berjaga-jaga apabila ditangkap. Mereka juga harus berhati-hati menghindari jebakan yang dibuat oleh militer, sebab beberapa petugas medis telah ditangkap dengan cara ini.
“Kami harus mewaspadai panggilan ke rumah pasien,” kata Nway Oo, seorang perawat yang telah pulang dari Yangon ke kampung halamannya di Negara Bagian Shan.
“Kami harus mengecek ke orang-orang kami di wilayah itu untuk memastikan apakah pasien itu benar-benar sakit. Kami selalu menunggu satu hari untuk memastikan bahwa pasien tersebut benar-benar membutuhkan kami.”
Perawat lainnya yang saya wawancara mengatakan dia tidak meninggalkan rumahnya di Yangon selama lima bulan dan telah hidup dalam ketakutan akibat pasukan keamanan terus melakukan inspeksi di lingkungan tempat tinggalnya.
Mengatasi ancaman Covid
Dengan operasional yang sangat bergantung pada telemedicine, sistem kesehatan bayangan ini juga berjuang merawat pasien selama lonjakan infeksi Covid-19 pada Juli dan Agustus lalu.
Myanmar telah memulai program vaksinasi sebelum kudeta, tetapi pelaksanaannya terhenti setelah militer merebut kekuasaan. Salah satu dari tenaga kesehatan yang ditangkap merupakan dokter yang bertanggung jawab atas peluncuran vaksin.
Junta berjanji mempercepat vaksinasi, tapi terhambat oleh kurangnya staf yang terlatih, kurangnya vaksin, dan rendahnya kepercayaan publik terhadap sistem kesehatan yang dijalankan oleh militer.
NUG meluncurkan rogram vaksinasi sendiri pada Juli, tetapi itu pun hanya di daerah-daerah perbatasan yang berada di bawah kendali kelompok pemberontak etnis yang simpatik.
“Situasinya sungguh memilukan,” kata Mi April, seorang instruktur perawat yang membantu mantan muridnya merawat pasien di kampung halaman mereka melalui layanan telemedis.
“Dulu saya kerja sampai jam 1 atau jam 2 pagi menanggapi semua pesan yang saya terima dari orang-orang karena anggota keluarga mereka yang sakit, yang mengatakan bahwa ayah dan ibunya kritis, dan memohon untuk ditanggapi.”
“Saya tidak berdaya, karena saya tidak bisa memberi mereka oksigen atau obat-obatan. Orang-orang antri di tempat-tempat yang memasok oksigen, tetapi militer menghalangi akses mereka.”
Varian Delta telah menyebar di Myanmar pada Juli dan Agustus. Jumlah korban sebenarnya sulit diketahui. Semua perawat dan dokter yang kami wawancara mengatakan pasien yang sakit parah ditolak dari rumah sakit pemerintah sehingga harus pulang, dan tidak ada yang tahu apakah mereka berakhir sembuh atau meninggal.
Pada September, angka infeksi Covid-19 telah menurun tajam, tetapi Myanmar tetap rentan terhadap lonjakan kasus di masa depan, mengingat tingkat vaksinasinya jauh di bawah negara-negara tetangga.
“Ketika terjadi lonjakan kasus terparah tahun lalu, kami berupaya mendapatkan obat-obatan, oksigen konsentrator, silinder, dan peralatan medis lainnya. Ini adalah situasi yang sangat sulit, tetapi setidaknya kami memiliki tenaga karena 70 hingga 80 persen petugas kesehatan bekerja bersama kami,” kata Zaw Wai Soe.
‘Kami kehilangan masa depan kami’
Saya bertanya kepada Zaw Wai Soe, mengapa petugas kesehatan di Myanmar mengambil risiko besar dalam menentang kudeta.
Dia percaya bahwa langkah itu merupakan respons moral dari sebuah profesi yang sangat diabaikan selama periode pemerintahan militer sebelumnya, ketika Myanmar menjadi negara dengan pengeluaran kesehatan terendah di dunia.
Hal itu mulai berubah di bawah pemerintahan sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi yang mulai merekrut tenaga kesehatan besar-besaran.
“Kalau dibandingkan dengan negara lain, kami memang tidak mendapat gaji yang besar. Kebanyakan dari kami bisa dengan mudah bekerja dengan penghasilan lebih baik di negara lain seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei.”
“Tetapi sejak Covid-19 melanda tahun lalu, kami mengerahkan segala upaya untuk membantu negara kami, berharap pada masa depan yang lebih baik dengan pemerintah yang kami pilih.”
“Lalu tiba-tiba kudeta ini terjadi. Itu lah sebabnya kami tidak bisa menerima ini. Kami bekerja untuk rakyat, bahkan dengan gaji dan standar hidup yang buruk.
“Kami memiliki harapan untuk masa depan, dan tiba-tiba kami kehilangan masa depan itu.”
Sumber: BBC Indonesia