KBMTV.ID – Setelah protes besar-besaran pada Sabtu akibat krisis ekonomi, Ketua Parlemen Sri Lanka mengatakan Rajapaksa akan mengundurkan diri pada Rabu (13/7/2022). Namun, belum ada kabar langsung dari Rajapaksa tentang rencananya pengunduran dirinya.
Sementara itu Kantor Perdana Menteri (PM) Sri Lanka mengonfirmasi pada Senin (11/7/2022), bahwa Presiden Sri Lanka telah memberi tahu PM Sri Lanka Ranil Wickremesinghe bahwa dia akan mengundurkan diri.
Wickremesinghe mengatakan dia juga akan mundur untuk memungkinkan pemerintah sementara dari semua partai mengambil alih. Para pemimpin gerakan protes mengatakan massa akan terus menduduki kediaman presiden dan perdana menteri di Colombo sampai mereka akhirnya mundur dari jabatannya.
Krisis yang terjadi di Sri Lanka sebenarnya telah dimulai sejak 2019. Berdasarkan laporan Nikkei yang dikutip KBMTV.ID, Minggu (10/7/2022), krisis yang terjadi saat ini diawali dengan insiden pengeboman di Kolombo dan kota-kota lain pada April 2019 yang menewaskan lebih 250 orang. Kejadian itu memberikan pukulan serius bagi industri pariwisata dan diperparah dengan hadirnya pandemi COVID-19.
Arus mata uang asing susut tajam karena turis meninggalkan Sri Lanka, dan pengiriman uang dari 1,5 juta pekerja Sri Lanka yang tinggal di luar negeri anjlok.
Sri Lanka juga mendapat pukulan inflasi yang tinggi dari krisis rantai pasok global.
Masalah tak berhenti di situ, meroketnya harga komoditas setelah invasi Rusia ke Ukraina juga memperparah keadaan. Hal itu memicu kenaikan biaya impor, penurunan cadangan devisa, kekurangan pasokan, dan inflasi yang tinggi.
Beberapa ahli menuding, krisis yang terjadi di Sri Lanka juga karena perangkap utang China. Mereka berpendapat, China menjerat negara-negara berkembang dengan pinjaman besar-besaran.
Utang Ke China
Utang Sri Lanka terhadap China menyumbang sekitar 10% dari total pinjaman luar negeri, angka tersebut hampir sama dengan utang ke Jepang. Namun, para ahli mengatakan, angka itu hanya mencakup pinjaman dari pemerintah China dan tidak termasuk utang perusahaan milik China.
“Memang benar bahwa suku bunga pinjaman tersebut tinggi, dan proyek sering kali didasarkan pada skenario keuntungan yang terlalu optimis, tetapi saya tidak dapat mengatakan apakah China bertanggung jawab atas krisis saat ini atau tidak,” kata seseorang yang terlibat dalam bantuan keuangan untuk Sri Lanka.
Sri Lanka memang bukan satu-satunya negara yang utang ke China dan menghadapi dampak COVID-19 serta perang di Ukraina. Namun, yang berbeda dengan negara lain adalah masalah kepemimpinan.
Keluarga Rajapaksa telah lama mendominasi politik di Sri Lanka. Pada 2005, Mahinda Rajapaksa, seorang legislator lama, memenangkan pemilihan presiden dan menunjuk adiknya Gotabaya seorang mantan perwira militer sebagai menteri pertahanan.
Pada empat tahun kemudian, pasangan tersebut berhasil menumpas pemberontak Tamil yang berjuang untuk kemerdekaan wilayah utara dan timur. Hal itu mengakhiri perang saudara selama 26 tahun di Sri Lanka.
Setelah masalah sipil diselesaikan, ekonomi Sri Lanka mulai menggeliat. Proyek jalan, rel kereta api, pelabuhan, dan infrastruktur lainnya mulai bergerak. Turis asing mulai berdatangan ke negara yang memiliki delapan situs warisan dunia.
The New York Times bahkan menyebut Sri Lanka sebagai tujuan wisata nomor satu dalam peringkat ‘Places to Go in 2010’. Euforia usai perang saudara juga memicu belanja konsumen, membantu mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 9,2% pada 2012.
Namun seiring berjalannya waktu, Mahinda mulai menunjukkan kecenderungan otoriter. Setelah terpilih kembali pada 2010, ia menunjuk tidak hanya Gotabaya tetapi juga anggota keluarga lainnya untuk jabatan penting pemerintah. Dia juga meminta investasi dari China untuk membangun pelabuhan dan bandara di kampung halamannya di Hambantota.
Namun, pada 2015 ia gagal mengamankan masa jabatan ketiga sebagai presiden, karena banyak pemilih muak dengan nepotisme dan korupsi di pemerintahannya serta ketergantungan berlebihan Sri Lanka pada China.
Tetapi serangan teroris pada 2019 membawa keluarga Rajapaksa kembali berkuasa. Karena amandemen konstitusi melarang Mahinda mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga sebagai presiden, Gotabaya malah mencalonkan diri dan memenangkan kursi kepresidenan.
Gotabaya kemudian menunjuk Mahinda perdana menteri dan menunjuk anggota keluarga lainnya untuk jabatan kementerian utama seperti keuangan, irigasi, dan pemuda dan olahraga. Banyak ahli mengatakan kedua saudara Rajapaksa membuat kesalahan serius yang berkontribusi pada krisis saat ini.
Mahinda melakukan kesalahan dengan mendorong proyek-proyek infrastruktur yang sia-sia dengan nilai ekonomi yang kecil. Memang benar, Sri Lanka sangat membutuhkan pelabuhan dan bandara setelah konflik sipil yang panjang, tetapi hanya ada sedikit permintaan untuk pelabuhan Hambantota.
Sejak selesai pada 2010, sebagian besar digunakan untuk membongkar kendaraan bekas. Bandara Internasional Mattala Rajapaksa yang dibuka pada 2013 bahkan disindir sebagai bandara terkosong di dunia karena sedikitnya maskapai yang menggunakannya.
Masalah Gotabaya berikutnya adalah memilih kebijakan populis daripada reformasi yang menyakitkan tetapi perlu dilakukan. Selama hampir empat tahun sejak 2016 ketika keluarga Rajapaksa tidak berkuasa, Sri Lanka mendorong reformasi struktural untuk meningkatkan pendapatan dan memperkuat basis fiskalnya dengan imbalan fasilitas pinjaman IMF sebesar US$ 1,5 miliar.
Gotabaya, yang menjabat pada 2019, membalikkan kebijakan itu dengan mempromosikan pemotongan pajak, yang menyebabkan pendapatan pemerintah turun 500 miliar rupee Sri Lanka (US$ 1,36 miliar).
Gotabaya juga melarang impor pupuk kimia untuk mempromosikan pertanian organik yang berdampak pada hancurnya panen teh dan beras yang penting di negara itu. Selain itu, dia lambat mencari dukungan IMF untuk mengatasi krisis saat ini karena takut diminta menaikkan pajak.
Kini, Sri Lanka dalam keadaan bangkrut karena gagal memenuhi pembayaran utang. Negara ini tidak punya pilihan selain melakukan reformasi struktural dan restrukturisasi utang di bawah program IMF, sambil memanfaatkan World Bank, India, Cina dan sumber lain untuk pinjaman.
Inflasi
Inflasi yang tinggi juga menjadi masalah besar Sri Lanka. Dikutip dari Reuters, Sri Lanka telah menaikkan suku bunga ke level tertinggi dalam dua dekade pada Kamis lalu. Langkah tersebut diambil untuk mencegah inflasi yang tak terkendali dan menghindari pukulan ekonomi yang lebih dalam.
Bank sentral Sri Lanka meningkatkan suku bunga pinjaman sebesar 100 basis poin menjadi 15,50%. Sementara, fasilitas simpanan naik menjadi 14,50%, tertinggi sejak Agustus 2001.
Inflasi Sri Lanka secara tahun ke tahun telah menyentuh 54,6% di bulan Juni. Gubernur Bank Sentral P Nandalal Weerasinghe mengatakan inflasi bisa mencapai 70%.
“Kami akan bekerja untuk mengelola inflasi sebanyak mungkin tetapi langkah-langkah lain seperti transfer tunai juga akan diperlukan untuk memberikan bantuan kepada orang miskin,” katanya.[]