“Kami tidak pernah mengira akan membebaskan negara ini dari mereka,” katanya, menambahkan.
Ia mengacu pada keluarga Rajapaksa yang mendominasi politik di negara Asia Selatan itu selama dua dasawarsa.
Dinasti Kekuasaan
Demonstrasi yang melanda Sri Lanka berawal dari krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaannya pada 1948. Bahkan, krisis ini telah berakibat pada kekurangan pangan, obat-obatan, serta kelangkaan sumber energi.
Negara kepulauan berpenduduk 22 juta orang itu telah mengalami pemadaman listrik selama berbulan-bulan. Warga juga harus merasakan kekurangan pangan dan bahan bakar yang akut, serta inflasi yang melonjak ke rekor paling menyakitkan yang tercatat sejarah negeri itu.
Baca Juga: Presiden Sri Lanka Kabur Ke Luar Negeri, Urung Umumkan Pengunduran Diri
Dinasti politik keluarga Rajapaksa dimulai dari sang kakak, Mahinda, yang dianggap sebagai pahlawan oleh mayoritas orang Sinhala karena mengakhiri hampir tiga dekade perang saudara ketika pemberontak Macan Tamil dihancurkan pada 2009. Ini terjadi selama masa jabatan pertamanya sebagai presiden.
Mahinda bahkan dibandingkan dengan raja-raja Buddhis Sinhala di parade kemenangan dan acara publik massal.
Analis politik veteran Kusal Perera dalam bukunya ‘Rajapaksa: The Sinhala Selfie’ tahun 2017 menyoroti peran keluarga Rajapaksa dalam politik negara dan bagaimana Mahinda mempersiapkan dirinya untuk kekuasaan.
Ayahnya adalah seorang anggota parlemen dan Mahinda secara bertahap naik dari pemimpin oposisi di parlemen menjadi perdana menteri pada tahun 2004.
Ketika dia menjadi presiden setahun kemudian, dia diangkat menjadi menteri pertahanan Gotabaya. Ini adalah lompatan karir yang besar bagi mantan perwira militer Sri Lanka yang hidup tenang di AS setelah pensiun.
Gotabaya maju untuk kampanye saudaranya dan menjadi terkenal, namun dari sini ia mendapatkan reputasi untuk kekejaman. Ini terjadi karena perbedaan kebijakan kepemimpinan antara Gotabaya dan Mahinda.
Putra sulung Mahinda, Namal, memang menyangkal bahwa kakak-beradik itu punya masalah. Namun ia mengatakan ayahnya selalu mendukung petani dan orang miskin, sementara Gotabaya memiliki pendekatan yang berbeda.
“Jelas ada perbedaan kebijakan antara presiden dan [mantan] perdana menteri,” kata Namal, seminggu sebelum pengunduran diri Mahinda, melansir BBC International.
Setelahnya, Gotabaya mengatakan kepada orang-orang yang dekat dengannya bahwa dia tidak tertarik pada masa jabatan kedua tetapi ingin tetap memimpin negara keluar dari krisis ekonomi saat ini.
Kendati demikian, hal ini ditentang karena mayoritas rakyat sudah marah terhadap dinasti tersebut.
Rajapaksa sendiri sangat populer di kalangan komunitas Sinhala selama bertahun-tahun, meskipun ada tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan diskriminasi terhadap minoritas. Mereka juga disalahkan atas serangan pembunuhan terhadap media, tetapi hanya sedikit orang Sinhala yang berbicara menentang keluarga tersebut.
Krisis Ekonomi
Akibat krisis ekonomi, rakyat Sri Lanka pun bersatu. Banyak komunitas Sri Lanka yang bersatu, termasuk pengunjuk rasa orang Sinhala yang menyuarakan dukungan untuk hak-hak minoritas.
Sri Lanka kini tengah menghadapi krisis ekonomi terburuk sejak memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948.
Sri Lanka tercatat tidak dapat membayar kembali utang luar negerinya sebesar US$51 miliar atau sekitar Rp766 triliun, dengan sekitar US$6,5 miliar (Rp97,6 triliun) di antaranya terutang ke China.
Pemerintah menyatakan gagal bayar pada April dan sedang bernegosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk kemungkinan dana talangan.[]