Bagian 2
“Saya guru Angga Bintoro.”
Setelah berbicara sebentar, Ayu Lingga berpikir sejenak, kemudian melanjutkan, “Saya baru saja menjadi guru pengganti untuk mengajar Ling Siyuan semester ini.”
Tidak ada jawaban.
Angga Bintoro berkedip cepat, tapi tidak bisa menyembunyikan kepanikan di wajahnya.
Dia ragu-ragu sesaat dan ketika dia hendak mengatakan sesuatu, ketika seorang seorang lelaki kurus berdiri di bawah lampu, dia sepertinya baru bangun tidur, kaus putihnya sedikit kusut, dan rambutnya agak acak-acakan.
Cahaya hangat yang lembut menyelimuti, garis luar yang jelas dan tajam ditutupi dengan lingkaran cahaya samar, menambahkan sedikit kelembutan.
Matanya tercermin dalam warna kuning yang hampir transparan, dan ketika dia menatap langsung ke arahnya, nafas Ayu Lingga tiba-tiba menegang.
Yudi… Bintoro? !
Ayu Lingga menatapnya dengan tatapan kosong, tidak yakin apakah dia mengalami delusi.
Tapi wajah ini.
Tidak ada wajah lain di dunia ini yang bisa kapan saja bisa melihatnya secara langsung.
Gambar dan kenangan di depan Ayu Lingga bertabrakan dengan cepat. Banyak pikiran melintas tak terkendali satu per satu.
Sejak lulus SMA, Ayu Lingga tidak lagi mengingat wajah teman-teman sekelasnya, apalagi yang jarang berhubungan dengannya, cepat memudar dan menghilang dengan cepat.
Bahkan ketika kuliah, dia hampir melupakan wajah orang ini.
Hingga sekitar lima tahun lalu, penyanyi Yudi Bintoro telah lahir memenuhi jagad panggung hiburan.
Nama Yudi Bintoro meroket cepat ke jagad raya, lagu aslinya selalu menyapu tangga lagu utama. Setiap tahun, dia pasti akan mendapat tempat pada acara penghargaan musik kelas atas, dukungan iklan untuk dirinya pun selalu berada dalam lingkarannya.
Walau Ayu Lingga tidak terlalu peduli dengan trending seorang bintang dan dunia industri hiburan, tetapi ia tak asing mendengar tentangnya walau sekilas.
Ketika bintang seorang Yudi Bintoro selalu terang bersinar, Ayu Lingga hanya melihatnya dari kejauhan bahwa cahaya bintangnya semakin bersinar terang.
Ayu Lingga akhirnya perlahan bisa menerima bahwa Yudi Bintoro adalah seorang bintang besar, bukan lagi teman sekelas yang selalu duduk di baris terakhir di kelas.
Tetapi mereka berdua tidak pernah menyangka pada akhirnya mereka berdua harus berdapan saling pandang pada pertemuan tidak terduga di hari yang biasa saja.
Ayu Lingga hanya berdiri menatap dengan bodohnya, tidak dapat pulih untuk beberapa waktu.
Hingga sebuah suara melengking tajam membuyarkan lamunannya.
“Ayah!”
Ayu Lingga bertanya-tanya dalam hati mendengar suara Angga Bintoro.
Jadi sedari tadi dia terus menelpon orang yang disebut ayah ini siapa?
Ayu Lingga tiba-tiba menundukkan kepalanya untuk melihat Angga Bintoro, dan kemudian menatap Yudi Bintoro, kemudian pupil matanya mengerut.
“Ayah?!”
Ayu Lingga tidak bisa melihat ekspresi Yudi Bintoro dengan jelas, hanya mendengar dia berkata, “Kamu menelepon—”
Sebelum dia menyelesaikan kata-katanya, makhluk kecil itu tiba-tiba melompat ke depannya dan memeluk pahanya dengan erat.
“Ayah! Aku sangat merindukanmu!”
“?”
Murid Ayu Lingga ini hampir meledak tangisnya.
Dia melirik Angga Bintoro lagi, lalu ke Yudi Bintoro.
Lihatlah lagi Angga Bintoro.
Kemudian, berbicara dalam ketidakpercayaan.
“Kamu … anak nya itu sudah seumur ini ?!”
Yudi Bintoro awalnya mencoba mendorong Angga Bintoro yang menempel padanya.
Mendengar apa yang dikatakan Ayu Lingga, dia berhenti, matanya berkedip sedikit, dan dia mendongak.
Ekor matanya sedikit terangkat, alisnya setengah terangkat, dan nadanya tidak bersahabat, “Jangan bicara asal saja.”
Cetar… seperti sambaran petir memukulnya.
Setelah diam beberapa saat, Ayu Lingga memalingkan wajahnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Jangan khawatir… aku tidak akan asal bicara.”
“…”
Yudi Bintor menggerakkan sudut mulutnya.
Ayu Lingga menatapnya lagi, tidak tahu harus menunjukkan ekspresi apa.
“Ayahnya Angga Bintoro sangat sibuk, selama ini tidak pernah muncul di sekolah. Ternyata dia adalah bintang tenar itu,” pikir Ayu Lingga dalam hati.
Semuanya kini seperti tampak masuk akal.
Tetapi tunggu dulu.
Dia tiba-tiba menatap Agga Bintoro lagi.
Dihitung berdasarkan umur…
Persetan???
Ayu Lingga tersentak.
Dalam kesannya, Yudi Bintoro di sekolah SMA adalah orang yang sangat pendiam.
Ia selalu menyendiri, tidak punya teman, tidak suka berbicara, dan selalu duduk di barisan paling belakang.
Selain itu, dia memiliki temperamen yang buruk, baik diam atau asal-asalan.
Anak laki-laki banyak yang tidak menyukainya, Ayu Bintoro kadang-kadang mendengar seseorang mengatakan bahwa dia miskin, dan dia tidak tahu harus menyimpukannya.
Suatu saat, dia datang ke sekolah dengan luka-luka dari waktu ke waktu, tidak ada yang tahu alasannya, dan tidak ada penjelasan darinya ketika rumor menyebar.
Semua keingintahuan rakyat pada akhirnya akan tenang, dan para siswa secara bertahap terbiasa dengan kehidupannya yang menyendiri, dan tidak ada yang memiliki kemauan untuk membuka kunci yang dingin ini.
Terlebih lagi, Ayu Lingga yang selalu duduk di baris pertama karena tidak mau memakai kacamata berada jauh duduknya dari Yudi Bintoro.
Meski keduanya telah menjadi teman sekelas selama tiga tahun, keduanya dapat menghitung dengan sepuluh jari kata-kata yang mereka ucapkan, yang mungkin termasuk beberapa kata “permisi” dan “terima kasih”.
Baginya, keberadaan Yudi Bintoro di SMA hanyalah sebuah nama yang biasa muncul di daftar kelas, dan tidak ada rasa keberadaan selain itu.
Jadi dia selalu merasa bahwa Yudi Bintoro hanyalah seorang siswa sekolah menengah biasa dengan penampilan yang lebih baik tetapi tidak terlalu pemarah.
Apakah Yudi Bintoro telah berbuat ceroboh, mengingatkan Ayu Bintoro saat bersekolah pada akhir tahun ketika terlalu sering masuk kelas, apakah karena dia menjadi seorang ayah?
Ayu Lingga diam membatu, dia hanya berdiri di sana tanpa bergerak seperti patung polisi di perapatan jalan.
Angga Bintoro masih memeluk Yudi Bintoro dengan erat, menoleh dengan tenang, membuka satu mata, dan melirik Ayu Lingga.
“Ibu guru… hari sudah malam, orang tuamu akan khawatir jika kamu tidak pulang lagi.”
Ayu Lingga terkesiap dan membawanya kembali kepada dunia nyata dengan kalimat ini.
Dia menunduk, dan suasana hatinya berubah seribu kali, tetapi dia tidak melupakan tujuan utama datang ke sini hari ini.
“Ibu guru tidak akan pulang sekarang, aku ingin berbicara dengan…” Ayu Lingga benar-benar tidak bisa mengucapkan kata “Ayah”, jadi dia hanya bisa melihat Yudi Bintoro secara langsung, “Ayo bicara.”
Seolah-olah dia tidak melihat mata bermakna Ayu Bintoro, kemudian Yudi Bintoro pun berkata dengan acuh tak acuh, “Oke.”
Percakapan ini membuat Angga bingung.
Dia mengerutkan alisnya dengan erat, bola matanya berdeguk, dan saat dia memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya, seseorang menepuk bagian belakang kepalanya.
“Ambilkan segelas air untuk ibu guru,” ujar Yudi Bintoro.
Angga meng iya kan perintah itu dan berlari ke dapur tanpa membuka sepatunya.
Kemudian Yudi Bintoro mengangkat dagunya dan memberi isyarat kepada Ayu Bintoro untuk mengikutinya masuk.
“Silakan masuk,” ajak Yudi Bintoro singkat.
Apartemen tempat tinggal ini berada di kawasan elite yang setiap jengkal tanah harganya mahal, kendati demikian rumah keluarga Angga Bintoro ternyata sangat besar.
Dekorasinya terlihat sangat sederhana pada pandangan pertama, tetapi sebenarnya membutuhkan banyak pemikiran dan mungkin menghabiskan banyak uang.
Tentunya juga terlihat adanya anak dalam keluarga tersebut.
Ruang tamu yang besar penuh dengan mainan sehingga sulit menemukan tempat untuk berdiri, apalagi sofa.
Yudi Bintoro mungkin tidak mengingat perlunya sebuah sofa ini.
Ketika mereka sampai di ruang tamu, namun dia akhirnya menyadari bahwa tidak ada ruang untuk orang duduk di sini. Yudi Bintoro berhenti sejenak, lalu menoleh dan berjalan ke arah lain.
“Kita ke ruang belajar.”
Ruang belajar tidak jauh lebih baik daripada ruang tamu.
Hanya saja yang ditumpuk bukan mainan, tapi macam-macam.
Ayu Lingga tidak dapat melihat temperamen nuansa musik dan artistik apa pun, tetapi semuanya penuh dengan selera komersial.
Beberapa sampul album Ling Chen tergantung di dinding, dan ada papan tulis di samping meja komputer, yang sepertinya dipenuhi dengan pemberitahuan jadwal dan sejenisnya.
Satu-satunya sumber cahaya di ruangan itu adalah lampu lantai.
Setelah Yudi Bintoro masuk, dia buru-buru melihat sekeliling, lalu berjalan ke sofa, dan membereskan semua dokumen kertas di atasnya ke sudut.
Kemudian dia berbalik dan berkata, “Silakan duduk.”
Ayu Lingga merasa aneh sekaligus penasaran ingin tahu. Ia akhirnya duduk di sudut sofa dengan tangan terlipat di pahanya, menahan keinginan tahunya untuk melihat kediaman bintang besar itu.
Yudi Bintoro merasa jauh lebih nyaman. Dengan satu tangan di sakunya, dia membungkuk di sofa dan mengambil selembar kertas untuk melihatnya. Dia mungkin tidak mengerti apa itu, jadi dia membuangnya dengan santai, lalu duduk.
“Apakah kamu kepala sekolah Agga?”
“Tepatnya, saya adalah guru bahasa Indonesia Angga Bintoro.”
Saat berbicara, Ayu Lingga diam-diam menatapnya beberapa kali.
Tapi aku tidak bisa melihat perbedaan dalam ekspresinya.
Ini, apakah kamu tidak mengenalinya?
“Saat ini kepala sekolah sedang cuti melahirkan, jadi saya menggantikan kepala sekolah untuk sementara waktu.”
Yudi Bintoro masih tidak memiliki fluktuasi ekspresi, begitu tenang sehingga dia bahkan mengangguk ke arahnya dengan acuh tak acuh.
“Helow…”
Apakah kamu mengingat aku?
Tapi akan memalukan jika dia masih tidak mengingat teman.
Ayu Lingga ragu-ragu sejenak, lalu berkata, “Nama keluarga aku adalah Lingga.”
Kata itu sengaja ditekankan.
Yudi Bintoro dengan lekat menatapnya.
“Oke-”
“Salam kenal, ibu guru.”
Ayu Lingga terdiam. Dia ternyata tidak mengingatnya, Ayu Lingga berpikir laki-laki dihadapannya sekarang ini sepertnya benar-benar telah lupa dengannya sebagai teman di SMA.
“Sudahlah,” putusnya
Ayu Lingga menyelipkan rambut yang menutupi matanya ke belakang telinganya, duduk lebih tegak, dan menatap Yudi Bintoro dengan serius.
“Maaf mengganggumu selarut ini, tapi aku jarang melihatmu, jadi aku mengantarkannya pulang hari ini, dan aku ingin berbicara denganmu tentang situasinya.”
Berbeda dari keseriusan Ayu Lingga, Yudi Bintoro malah dengan santai bersandar di sofa dan berkata dengan santai, “Oo begitu?.”
Ayu Lingga diam sesaat. Menyayangkan sikap acuh Yudi Bintoro sebagai orang tua.
“Masalah pertama, Angga hari ini tidak dijemput ke sekolah hari ini, apakah kamu kamu?”
Yudi Bintoro memutar matanya.
“Apakah Angga tidak punya pengasuh untuk menjemputnya?”
“Terkadang ada yang tidak beres dengan pengasuh, seperti hari ini, anak menunggu sendirian di kelas, dan tidak ada wali yang bisa dihubungi.”
Dia berhenti sejenak, “Jika aku tidak memeriksa ke ruang kelas untuk melihat-lihat, apa yang akan terjadi jika anak itu pulang sendirian dan mengalami kecelakaan?”
Mendengar ini, Yudi Bintoro akhirnya menjadi serius, “Dimengerti.”
Ayu Lingga menggelengkan kepalanya sedikit, dan menghela nafas.
“Aku mengerti bahwa kamu sangat sibuk dengan pekerjaan, dan tidak nyaman untuk menjemput dan mengantar anak-anak kamu, tetapi kamu tidak boleh melupakan tanggung jawab yang paling mendasar.”
“Oke.” Yudi Bintoro mengangguk, “Aku akan mengikutinya …”
Sebelum selesai berbicara, Angga Bintoro dengan hati-hati membuka pintu dan masuk dengan gelas air di tangannya.
“Ibu guru, ini air minumnya.”
Ayu Lingga mengambilnya, dan mengangguk sambil tersenyum.
“Terima kasih, Angga sangat baik. Kamu boleh mengerjakan pekerjaan rumah dulu,” kilah Ayu Lingga.
Angga pun mengangguk, tetapi tidak segera pergi malah menatap Yudi Bintoro.
Butuh beberapa saat bagi pria di sofa untuk menyadari tatapan anak itu, dan terlambat mengangkat kepalanya untuk menerima sinyalnya.
“Oh iya silahkan.”
Akhirnya Angga mengedipkan mata padanya dengan tenang, lalu berbalik dan berlari keluar.
Setelah memastikan Angga tidak dapat mendengarnya, Ayu Lingga berkata dengan sungguh-sungguh.
“Kamu harus menghabiskan lebih banyak waktu dengannya dan peduli padanya, daripada hanya membuatnya takut padamu.”
Yudi Bintoro tersenyum, “Dia sepertinya takut padaku?”
Hanya berani keluar dengan persetujuan kamu, bukankah itu disebut ketakutan?
Tapi ini bukan masalah yang paling mendesak saat ini, lagipula berapa banyak anak di dunia ini yang tidak takut pada ayahnya?
Ayu Lingga meneruskan, “Juga tentang nilai…”
“Berapa skornya?” tanya Yudi Bintoro.
Ayu Lingga mengambil air minumnya dan meneguk dua teguk air panas tanpa ekspresi untuk menahan emosinya.
“Nilai bukanlah tujuan akhir, kita perlu melihat status belajar yang tercermin dalam ujian. Jelas, Angga sangat pandai dan unggul dalam matematika, tetapi kebiasaan belajarnya tidak cukup baik.”
“terutama mata pelajaran yang perlu dibaca, terlalu ceroboh,” lanjut Ayu Lingga.
Yudi Bintoro mengangguk, “Memang, ini sangat mirip denganku.”
Ayu Lingga bergumam di dalam hatinya, kamu cukup bangga menulis lirik di tempat tanpa teleprompter?
“Pada saat-saat biasa, kita harus lebih memperhatikan untuk menumbuhkan kebiasaan belajarnya. Ini adalah sesuatu yang akan menguntungkan seluruh hidupnya, daripada berfokus pada nilai secara kasar.”
“Oh baiklah.”
Tanpa sadar, Ayu Lingga mengeluarkan banyak ide dalam mempelajari masalah ini, dan tak terasa air di gelas pun hampir habis.
Ayu pun teringat untuk membandingkan hal lain yang lebih merepotkan.
“Ngomong-ngomong, Angga masih berkelahi di sekolah hari ini.”
Yudi Bintoro sedikit terkejut, “Dia sudah mulai berkelahi saat dia baru duduk di bangku kelas satu?”
Tangan Ayu Lingga yang memegang cangkir membeku di udara, dan sudut mulutnya berkedut secara tidak wajar.
“Kamu… kamu tidak tahu dia sudah di kelas dua?”
Yudi Bintoro tidak perlu mengatakan apa-apa, Ayu Lingga pun mengerti.
Dia memalingkan muka dan mencoba menyesuaikan mentalitasnya.
Jika Yudi Bintoro mengenalinya, akan lebih mudah untuk berkomunikasi dengannya.
Ayu Lingga sudah tidak yakin dengan sikap apa yang harus dia ambil. Apalagi mengingat dirinya sekarang benar-benar sudah menjadi orang asing yang sedang menghadapi bintang besar.
Lagi pula, dia tidak pernah bermimpi bahwa suatu hari dia akan duduk di rumah seorang bintang besar dan berbicara begitu dekat.
Itu juga termasuk misteri soal bagaimana mengungkap kehidupan pernikahannya, tetapi sudah memiliki seorang anak.
Setelah berpikir sejenak, dengan lembut Ayu Lingga berkata, “Alasan pertengkaran adalah karena beberapa teman sekelas mengatakan bahwa ibunya tidak menginginkannya lagi, dan ayahnya juga tidak menginginkannya lagi.”
Mendengar perkataan ini, mata Yudi Bintoro berangsur-angsur menjadi gelap.
Ekspresi santai yang sebelumnya ada kini tampak berangsur-angsur menghilang di wajahnya, ia menatap Ayu Lingga dengan serius.
Sebaliknya, Ayu Lingga yang ditatap pun menjadi sedikit gugup.
Dia tidak memandangnya lagi, memalingkan muka, dan berkata, “Saya kira begitu. Anak itu pada usia ketika dia membutuhkan perhatian dari ayahnya. Apakah menurut Anda ada cara untuk menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga?”
“Oh.”
Yudi Bintoro pun berkata, “Aku paham, saya akan menyisakan lebih banyak waktu untuk…”
Belum selesai ucapannya, ketika ponsel tiba-tiba berdering.
Yudi Bintoro menyentuh saku celananya, namun ia tidak dapat menemukan teleponnya. Tatapannya mencari di sofa, dan akhirnya menemukan sumber nada dering dari tumpukan file.
“Hallo…”
Ketika dia menjawab telepon, dia duduk sedikit, “Yah, aku akan…”
Ucapannya tiba-tiba berhenti, melirik sebentar ke Ayu Lingga, dan kemudian berkata lagi, “Saya akan menemani Angga Bintoro sebentar untuk mengerjakan pekerjaan rumah sebelum datang ke sana.”
Begitu ucapannya selesai, dia dia pun menekan ponsel untuk menutup percakapan telepon.
Ayu Lingga sedikit lebih puas.
Tetapi dia juga tahu bahwa Yudi Bintoro mungkin akan sibuk dengan sesuatu nanti, jadi dia bangkit dan berkata, “Kalau begitu maaf telah mengganggu waktu kamu hari ini, dan kita akan tetap berhubungan jika ada yang harus dilakukan di lain hari.”
Yudi Bintoro ikut berdiri mengikuti Ayu Lingga, “Terima kasih—”
Dia tiba-tiba terlupa lagi dengan sesuatu.
Jelas, ia lupa apa nama belakangnya.
“Apakah dirinya benar-benar tidak ada kesan sama sekali?” rasa heran menghinggapi Ayu Lingga.
“Nama ku Ayu Lingga.”
Sekali lagi Ayu Lingga memandang Yudi Bintoro mengucap kaata demi kata, “Salam hormat.”
Benar saja, setelah itu Yudi Bintoro membuat reaksi yang berbeda.
Dia mengangkat alisnya, matanya berangsur-angsur terfokus, tertuju pada wajah Ayu Lingga.
Bagaimanapun, kini Yudi Bintoro seorang bintang populer yang sedang bersinar namanya. Menghadapi ini Ayu Lingga tak dipungkiri merasakan perbedaan mental dihadapan Yudi Bintoro.
Menghadapi situasi seperti ini, Ayu Lingga sedikit gugup, dan jari-jarinya tanpa sadar meraih roknya.
“Apa dia sekarang mengingatnya?” benak Ayu Lingga berkecamuk.
Selain itu, bahkan jika dia tidak banyak berhubungan dengan Yudi Bintoro saat di SMA dulu, dia pasti tidak akan sepenuhnya melupakan begitu saja.
Sedangkan baru saja tahun lalu, Ayu Lingga bertemu dengan teman sekelasnya di SMP dan mereka masih mengenalinya sekilas.
“Namamu…,” kata Yudi Bintoro.
Ayu Lingga menatapnya, mengedipkan matanya yang besar, dan mendorongnya dengan matanya.
“Kedengarannya bagus,” kata Yudi Bintoro lagi.
“… Terima kasih,” jawab Ayu Lingga singkat.
Yudi Bintoro memiringkan kepalanya, memandang Ayu Lingga dari sudut yang berbeda, dan tersenyum.
“Sepertinya nama itu adalah nama yang sama dengan salah satu teman sekelasku di SMA,” lanjut Yudi Bintoro.
Setelah hening sebentar, Ayu Lingga menghela nafas lega, dan menatapnya dengan datar.
“Apakah kamu memikirkan hal tentang itu?” tanya Ayu Lingga.
“Mungkin…”
“Aku teman sekelas SMA-mu?” Ayu penuh tanya dalam benaknya.