KBMTV ID

Cinta Pertama

Bagian 3

Keesokan paginya, udara masih berbau hujan, namun cuacanya sudah mulai agak menghangat sedikit daripada kemarin.

Semalaman ia tidak bisa tidur dengan nyenyak, hingga akhirnya ia bangun sedikit terlambat pagi hari ini. Hampir saja telat datang tepat waktu ke sekolah.

Ayu Lingga mengenakan kemeja seragam guru ke sekolah.

Ketika melewati pintu kelas, para siswa sudah datang lebih dulu dan duduk rapih di kursi masing-masing.

Kelas pertama adalah kelas bahasa lokal, Ayu Lingga tidak banyak mengatakan apa-apa. Dia hanya memandang di balik kisi-kisi jendela melihat situasi anak-anak.

Lusinan anak berlarian, dan Angga Bintoro mengenakan setelan pakaian daerah, yang sangat mencolok di antara anak-anak.

Dia tampaknya dalam suasana hati yang sangat baik, mengambil banyak makanan ringan dan membaginya dengan teman sekelasnya.

Melihat sosok Agga Bintoro yang dalam suasana hangat dan lebih hidup, membuat Ayu Lingga masih diliputi rasa keheranan.

Dari tadi malam sampai sekarang, dia tidak tahu bagaimana bisa memecahkan rahasia mengejutkan seorang bintang, bertemu muka dan bicara melalui kunjungan biasa ke rumah siswanya.

Bintang populer itu jelas-jelas adalah teman sekelasnya saat SMA selama tiga tahun.

Ayu Lingga masih megingat dengan jelas peristiwa tadi malam, dia terpaksa harus menyebutkan namanya kata demi kata, namun Yudi Bintoro seperti seorang yang tidak mengingatnya sedikit pun.

Memikirkan hal ini, Ayu Lingga menertawakan dirinya sendiri.

Keadaan kini sudah berbalik, Yudi Bintoro jelas sama sekali tidak memiliki ingatan khusus tentang dirinya. Keduanya hanya bisa saling memandang dengan canggung untuk waktu yang lama.  Tetapi tidak tahu mengapa.

Keadaan kini sudah benar-benar berbalik.

Di masa lalu, Yudi Bintoro sebagai siswa yang biasa saja, sedangkan Ayu Lingga adalah siswa yang populer di sekolah.

Kini, Yudi Bintoro sangat populer, tetapi Ayu Lingga hanyalah sebagai orang biasa.

Suasana pagi di kelas itu menjadi hening ketika seseorang berteriak dan pandangan mengarah ke Adinung Ging. Semua anak-anak berlarian ke tempat duduk mereka masing-masing.

Angga Bintoro menoleh ke belakang, menatap Adinung Ging, tersenyum padanya.

Sesaat kemudian Ayu Lingga kembali tersadar, melambai tangannya kepada Angga dan memanggilnya ke koridor ruang kelas.

Dia membungkuk dan menyentuh kepala Angga Binoro.

“Apakah ayahmu memarahimu setelah ibu guru menemui ayahmu kemarin?”

“Tidak… tidak.” Angga Bintoro tertawa dengan lesung pipitnya.

“Ayah hari ini mengantarkan aku hari ini ke sekolah,”

“Apa?” kaget Ayu Lingga.

Tanpa sadar Ayu Lingga melihat ke gerbang sekolah.

Di pelataran sekolah, orang tua ramai tidak ada habisnya meski masih pagi.

Yudi Bintoro sangat berani mengantar anaknya ke sekolah, bukankah dia tidak takut ketahuan?

“Benar ibu guru!” Angga Bintoro berkata sungguh-sungguh.

“Ayah bangun pagi untuk membuatkan sarapan untukku!” lanjut Angga Bintoro.

Sepertinya percakapan semalam dengannya Yudi Bintoro tadi malam ada manfaatnya, namun entah bertahan untuk berapa lama tidak diketahui.

“Oke, ibu guru tahu, kembalilah ke kelas dan bersiap untuk pelajaran.”

Ayu Lingga kembali ke kantor, bel persiapan untuk kelas pertama baru saja berbunyi.

Ayu Lingga membuka pekerjaan rumah yang menumpuk di atas meja, dan hendak menulis dan mengoreksi, ketika suara wanita tiba-tiba terdengar di belakangnya.

“Ibu Ayu Lingga, apakah sekarang tidak ada pelajaran di kelas?”

Ayu Lingga menoleh dan melihat seorang wanita berusia tiga puluhan berdiri di depan pintu dengan wajah aneh.

Barulah setelah bocah laki-laki di belakang wanita itu masuk, Ayu Lingga tiba-tiba menyadari bahwa ini pasti ibunya dari Adinung Ging.

Masalah lagi baru saja dimulai.

Meskipun perempuan itu belum lagi melanjutkan berbicara, Ayu Lingga sudah meramalkan bahwa dia tidak akan aman lagi pagi ini.

“Ibu Adinung Ging? Ada apa?”

Ibu Adinung Ging mengenakan kacamata berbingkai merah, rambutnya disisir dengan patuh, dia berjalan santai, dengan sedikit senyum di wajahnya, yang membuat Ayu Lingga sedikit khawatir.

“Apa benar Adinung Ging sudah dipukuli di sekolah kemarin? Aku datang ke sekolah hari ini untuk meminta penjelasan.”

Kening Ayu Lingga berkedut.

Tak lama Ibunya Adinung Ging berbicara, para guru-guru lain di kantor pun menoleh dan melihatnya.

Melihat orang tua itu memiliki wajah yang tidak mudah dibodohi, mereka menggelengkan kepala dan terus melakukan urusan mereka sendiri.

Ada juga seorang guru wanita yang menatap Ayu Lingga dengan tatapan kasihan.

“Ibu Adinung, duduk dulu.”

Ayu Lingga memindahkan sebuah kursi untuknya, kemudian mempersilahkan orang itu untuk duduk dengan baik.

“Ini tidak seserius yang Anda bayangkan, kejadiannya tidak dipukuli. Hanya anak-anak yang bermain-main, saya sudah menegur mereka kemarin, dan saya juga sudah memberi tahu orang tua Angga Bintoro kemarin, menelpon dan menjelaskan situasinya.”

“Menegurnya?”

Wanita berkacamata merah itu mengangkat alisnya.

“Angga Bintoro jelas-jelas yang pertama menyerang, mengapa menegur Adinung Ging?”

“Karena kata Adinung Ging …”

“Oke, Ibu guru, kamu tidak perlu lagi membahasnya.” Ibunya Adinung Ging mengangkat tangannya dan menghentikan penjelasan Ayu Lingga.

“Aku sudah mengerti apa yang terjadi kemarin. Suamiku tidak peduli, jadi kamu tidak perlu menjelaskan lagi. Sekarang saya akan memberi tahu Anda, saya ingin meminta penjelasan dari orang tua Angga Bintoro. Jika tidak, saya tidak bisa lagi tenang memikirkan anak saya berada di kelas yang sama dengan orang yang kasar dan kejam? Bagaimana jika hal ini terjadi lagi di kemudian hari?”

Ayu Lingga hanya bisa mendengar Ibunya Adinung Ging merepet panjang sampai tanpa jeda sedikitpun. Sebagai seorang guru yang baru saja lulus, Ayu Lingga belum pernah bertemu dengan orang tua siswa seperti itu.

Raut wajah cantik Ayu Lingga penuh dengan tanda tanya, bagaimana ibunya Adinung bisa memiliki logika sesat seperti itu. Hingga dia pun ingin bertanya-tanya apa yang diceritakan Adinung Ging kepada orang tuanya tadi malam.

Tapi begitu Adinung Ging melihat sorot mata ibu gurunya, dia langsung bersembunyi di belakang ibunya.

“Bagaimana dengan ini.”

Ayu Lingga tidak punya pilihan selain meminta Adinung Ging untuk memanggil Angga Bintoro.

“Adinung Ging, panggil Angga Bintoro di kelas untuk datang ke sini.”

Adinung Ging cepat berlalu pergi.

“Ibu Adinung Ging, sebenarnya adalah hal biasa bagi anak-anak untuk berkelahi dan berkelahi. Mereka sudah berjabat tangan dan berdamai kemarin. Saya rasa tidak perlu mengungkit hal-hal yang tidak menyenangkan,” ucap Ayu Lingga mencoba untuk menenangkan.

“Wajah Adinung Ging tergores dengan bekas darah. Kemudian saya bertanya kepadanya ada apa, dan dia menangis dengan sedihnya. Terlihat bahwa anak itu tidak puas, jadi hari ini saya meminta orang tua Angga Bintoro harus bisa memberi saya penjelasan.”

Ayu Lingga kemarin benar-benar hanya peduli pada Angga Bintoro, karena ia mengalami mimisan dan di sekujur wajahnya kemarin berlumuran darah. Namun luka yang juga dialami Adinung Ging kemarin yang juga terdapat luka tidak ada noda darah di wajahnya, jika tidak dilihat dengan teliti.

Namun hari ini, apa pun penjelasan Ayu Lingga tidak akan didengarkan, ibu dari Adinung Ging bersikeras ingin agar sekolah memanggil orang tua Angga untuk datang dan meminta maaf secara langsung. Meskipun tindakan Adinung Ging yang awalnya memicu perkelahian keduanya.

Kondisi ini menuntut Ayu Lingga untuk menghadirkan Yudi Bintoro untuk berbicara langsung dengan dengan ibu Adinung Ging.

Baiklah kita akan berkomunikasi dan membicarakannya.

“Oke, aku akan membantumu menghubungi orang tua Angga Bintoro.”

Kemudian Ayu Lingga melanjutkan, “Namun, tentu saja orang tua Angga Bintoro sangat sibuk dan mungkin tidak memiliki waktu.”

“Saya tidak heran.”

Ibu Adinung Ging mencibir dan tidak mengatakan apa-apa lagi, tetapi nadanya membuat orang sangat tidak nyaman.

Tampaknya Angga Bintoro telah menyentuh orang-orang yang tak bisa disinggung.

Tepat pada saat ini, Angga Bintoro datang bersama Adinung Ging.

Kedua anak itu mungkin tidak berbicara tentang masalah yang terjadi saat berjalan menuju ruang kantor guru. Jadi begitu Angga Bintoro masuk, matanya yang besar berkibar bingung, dan dia bertanya dengan cemas.

“Ibu guru, mengapa ibu guru memanggil orang tua saya lagi?”

Sebelum Ayu Lingga dapat berbicara, ibu Adinung Ging langsung memotongnya dan mengabaikan kehadiaran Angga Bintoro.

“Saya tidak peduli betapa sibuknya orang tuanya, jika mereka memukul anak kami, maka mereka harus memberikan penjelasan. Bagaimana Ibu Ayu Lingga? Kamu bisa menelepon orang tuanya. Telepon aku, dan aku akan berbicara dengannya secara langsung.”

Ayu Lingga mengabaikannya, dan menghibur mereka  sambil membolak-balik ponsel di tasnya.

“Tidak apa-apa, hanya mengobrol sebentar saja. Lagipula, setelah guru mengobrol dengan ayahmu kemarin, dia tidak memarahi kamu kan?”

Ibu Adinung Ging tidak sabar melihat Ayu Lingga untuk segera menelpon, wajah dinginnya langsung memancar dan segera mengeluarkan ponselnya kepada Angga Bintoro.

“Ayo, hubungi sendiri orang tuamu.”

Tentu saja Angga Bintoro tidak langsung menerima uluran ponsel itu, alih-alih malah menatap Ayu Lingga tanpa daya.

“Mengapa harus menelepon orang tuaku?”

“Angga, ini tentang yang terjadi kemarin, ibu Adinung Ging masih ingin berbicara dengan ayahmu. Jangan takut, panggil saja. Ibu guru ada di sini, dan ayahmu tidak akan memarahimu.”

Melihat Angga Bintoro masih tidak bergerak juga, ibu Adinung Ging berkata dengan sambil mengancam. “Jika kamu tidak menelepon, maka aku akan langsung mencarikan informasi kontak ayahmu di grup kelas. Ketika waktunya tiba…”

“Aku akan menelepon!” Angga Bintoro langsung merebut ponsel dari tangan Ibu Adinung Ging.

Melihat kepanikan bocah kecil itu, ibu Adinung Ging mendengus dan menatapnya dengan tangan terlipat.

Sambil menekan tombol, Angga Bintorodiam-diam menatap wajah Ayu Lingga, akibatnya beberapa kali salah menekan nomor karena panik.

Setelah menunggu sebentar, sambungan telepon belum juga tersambung.

Sambil menunggu sambungan telepon, Ayu Lingga memikirkan bagaimana menghadapi Ibu Adinung Ging.

Tanpa diduga, beberapa detik kemudian…

“Ayah …” Suara malu-malu Angga terdengar, “Bisakah kamu datang ke sekolah…”

Ayu Lingga tiba-tiba mengangkat kepalanya.

Tidak menduga, ternyata telepon dengan mudah tersambung.

Namun, detik berikutnya, Angga Bintoro berkata “Halo” dua kali, lalu berkedip dan matanya menatap kosong ke arah ponsel.

“Dia menutup telepon…”

Ibu Adinung Ging pun memprotes, “Mau menantang!”

Ibu Adinung Ging menakuti Angga Bintoro, lalu sebentar menoleh ke Ayu Lingga.

“Kamu sekarang sudah jelas melihat,  dengan sikap orang tua seperti ini bagaimana saya bisa yakin bahwa anak saya akan berada di kelas yang sama dengan anaknya?”

Ayu Lingga dengan pasti tahu, jika Yudi Bintoro tidak mengatakan apa pun tentang kejadian hari ini, Ibu Adinung Ging pasti tidak akan mau berhenti.

Ayu Lingga mengambil ponselnya dan langsung menelponnya.

Setelah berdering selama beberapa detik, panggilan pun terhubung.

Sebelum Ayu Lingga sempat berbicara, Yudi Bintoro menahan amarahnya,

“Angga, apakah kamu tidak punya kegiatan lain selain mengganggu?… ”

“Ayah Angga Bintoro,” potong Ayu Lingga.

“Saya Guru Ayu Lingga, guru kelas Angga Bintoro,” jelas Ayu Lingga singkat.

Ada keheningan di ujung telepon selama beberapa detik.

Setelah itu, suara Yudi Bintoro terdengar dengan nada masih mengantuk, “Apakah dia berkelahi lagi di sekolah?”

“Tidak, dia sangat baik hari ini.”

Ayu Bintoro melirik ibu Adinung, berdehem, dan berkata dengan serius, “Tapi ini tentang perkelahian kemarin, ibu dari teman sekelasnya ingin berkomunikasi langsung dengan mu. Menurutmu kapan ada waktu waktu untuk datang ke sekolah?”

Ayu dengan pasti menduga bahwa Yudi Bintoro tidak akan datang, tetapi dia masih harus menjelaskan keseluruhan ceritanya.

“Itu tidak akan memakan banyak waktu anda, dan itu baik untuk Angga Bintoro dan teman-teman sekelasnya untuk bergaul dengan baik. Lagipula tolong luangkan waktu untuk datang, oke?”

“Aku benar-benar sibuk dan aku tidak punya waktu,” jawab suara di sebarang sana.

Namun setelah merenung sejenak, dia menghela nafas, “Baiklah, aku akan datang sepulang sekolah.”

“Hmm, aku bisa mengerti bahwa anda sangat sibuk…” Ayu Lingga tiba-tiba berhenti, tidak yakin apakah dia mengalami halusinasi pendengaran, “Apa yang bausan anda katakan?”

Yudi Bintoro mengucapkan kata demi kata, “Aku akan datang sepulang sekolah nanti.”

“…Ok aku paham.”

Setelah menutup telepon, Ayu Lingga membeku selama beberapa saat sebelum mengembalikan telepon ke ibu Adinung.

Ayu Ligga mengatakan dengan jujur pembicaraan barusan di telepon.

“Ayahnya tidak bisa datang pada siang hari, jadi dia bisa datang ke sekolah sepulang sekolah, tidak apa-apa?”

Ibu Ging sebenarnya tidak terlalu puas, tetapi dia berpikir bahwa dia memang akan memiliki sesuatu untuk dilakukan nanti, jadi dia dengan enggan mengangguk.

“Baiklah kalau begitu, aku akan kembali setelah sekolah, tepat waktu.”

Sejak kejadian pagi tadi, Ayu Lingga masih sedikit heran dan bingung atas sikap Yudi Bintoro.

Yudi dengan mudahnya bisa menyetujui untuk datang ke sekolah. Apalagi bila mengingat perselisihan orang tua siswa ini melibatkan bintang yang sedang populer.

Ayu Lingga tidak pernah bisa membayangkan sikap ibu Ging setelah mengetahui siapa Yudi Bintoro dan mempengaruhi kariernya setelah membuka keberadaan anak dari Yudi Bintoor..

Apakah nantinya semua orang akan tahu kalau Yudi Bintoro memiliki anak berusia tujuh tahun?

Apakah Angga Bintoro bisa hidup dan bersekolah secara normal setelah peristiwa ini?

Dan sebagai seorang guru, bagaimana dia harus menghadapi rasa ingin tahu Angga Bintoro dari kelas dan teman sekolahnya?

Dengan segala macam pikiran yang tersisa, ingin rasanya mencari lubang bersembunyi dalam sekejap mata.

Bel pelajaran terakhir berbunyi, ibu Ging sudah siap menunggu di kantor bersama anaknya.

Tak lama kemudian Angga Bintoro pun datang juga ke kantor.

Tiga orang saling duduk berhadapan, satu sisi dua orang yang satu besar dan yang satu boca, sedang sisi lain satu orang bocah dan dua sisi tidak berbicara maupun tertawa, suasananya menjadi agak kaku.

Adinung Ging mengerjakan PR dengan santai sambil sang ibu terus menyemangati.

Sedang raut wajah Angga Bintoro ketakutan, ia memegang pensil sambil berpura-pura menggambar. Sesekali ia mencuri-curi pandang ke arah Ayu Lingga untuk membunuh waktu.

Jam terus berputar, setengah jam berlalu dengan cepat dan kini sekolah menjadi sepi seperti taman kecil di pinggiran kota. Perlahan hari beranjak gelap, dan akan segera menuju malam.

Rasa tidak sabar Ibu Ging mulai menguap dan tak terduga ia  menepuk meja, brak…!

“Bukankah kamu bilang dia akan datang sepulang sekolah? Sudah lebih dari setengah jam, saya harap kamu akan memanggilnya lagi, guru!” ujar ibu Ging emosi.

Ayu Lingga saat ini mengira Yudi Bintoro sedang ingin bersembunyi entah di mana.

Ayu Lingga segera menekan nomor, ketika pintu kantor diketuk.

Ayu Lingga melihat ke luar pintu, sesaat ia membeku, dan berkata dengan sedikit tidak wajar: “Selamat  sore, saya orang tua Angga Bintoro…”

Ibu Ging segera menoleh dan ketika ingin mengatakan sesuatu, tenggorokkannya seperti tesedak batu coran jalan saat melihat orang yang berada di depan pintu.

Langit sudah gelap, ketika Yudi Bintoro datang mengenakan sweter hitam dan celana panjang hitam. Meskipun dia kurus, perawakannya tinggi dan cukup tegak untuk menghalangi matahari terbenam yang tersisa dan membuat kantor kecil itu semakin berat.

Selain itu, dia mengenakan topeng hitam.

Sebagian besar wajahnya tertutup, hanya sepasang mata gelap yang terlihat, tetapi itu tidak menyembunyikan temperamennya yang unik.

Penampilannya tidak seperti orang biasa yang tinggal di jalanan atau gang sempit.

Ibu Ging tidak menyangka ayah Angga Bintoro telah hadir dihadapannya. Selain itu, melihat laki-laki dihadapannya merasa alis dan mata orang ini agak akrab, tetapi dia tidak dapat mengingat di mana dia pernah melihatnya sebelumnya.

Ibu Ging kehilangan momentum tanpa alasan, ia tidak menduga orang tua siswa yang datang ternyata berbeda dengan yang dia bayangkan sebelumnya.

Saat Yudi Bintoro datang mendekat, Ibu Ging berdiri dan berkata dengan dagu terangkat.

“halo, saya ibu dari siswa Adinung Ging.”

Ketika Yudi Bintoro melewati Ayu Lingga, ia melirik sebentar dan menyapa dengan sopan.

“Halo Ibu guru,”

Ia berlalu tanpa memperhatikan Ayu Lingga,  langsung menuju Angga Bintoro dan menepuk dahi denga jarinya.

“Apa kamu masih membuat masalah untuk aku?”

Angga tidak berani menatapnya secara langsung, raut wajahnya seperti meminta pertolongan dari Ayu Lingga.

“Hari ini dia tidak membuat masalah,” sigap Ayu Lingga melihat situasi Angga yang sedang kesulitan menghadapi tekanan Yudi Bintoro.

Ayu memberi isyarat kepada Yudi Bintoro untuk melihat ibu Ging.

“Ibu Ging, ingin membicarakan tentang perkelahian kemarin antara anaknya Adinung Ging dengan Angga Bintoro.”

Barulah kemudian Yudi Bintoro berbalik perlahan dan menatap ibu Ging.

“Anakmu memukuli dan mencakar wajah anakku. Sekarang ini kita berada di tengah masyarakat yang beradab, aku belum pernah melihat orang yang tidak beradab. Apa bedanya ini dengan gangster? Dan…”

Yudi Bintoro mengangguk mengerti.

“Ya, tapi saya sangat sibuk, jadi beri tahu saya, apa yang ingin Anda bicarakan?” potong Yudi Bintoro.

Ibu Ging: “…”

Saat mendengar kata-kata Yudi Bintoro, ingin rasanya ia memborbardirnya dengan pisau atau pistol.

“Kamu…”

Ibu Ging melihat Yudi Bintoro dua kali, rasa kepercayaan dirinya kini melayang entah kemana. Tetapi dia tidak ingin kehilangan momentumnya, jadi dia mulai melampiaskan emosi hatinya.

“Jam berapa sekarang? Apakah anda merasa bersalah dengan terlambatnya anda datang?”

“Maaf,” kata Yudi Bintoro dengan tulus.

“Saya tadi mendatangi alamat sekolah yang salah.”

Ayu Lingga dan Ibu Ging saling menatap keheranan.

Sudut mulut ibu Ging berkedut, sekejap kemudian dia mendapatkan kembali ketenangannya.

“Lalu apa maksudmu memakai topeng? Apakah kira kamu memiliki sikap sopan?”

Kulit kepala Ayu Lingga mendadak tegang, tatapan matanya mengarah ke Yudi Bintoro dengan gugup.

“Saya sedang sakit, apakah anda ingin saya tularkan penyakit?”

Yudi Bintoro mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk melepaskan topengnya.

“Jika anda keberatan dengan ini, saya akan melepaskannya.”

“Tidak! Jangan lepaskan topengnya,” buru-buru Ibu Ging menolak dengan mimik ketakutan.

Ibu Ging pun segera menarik Adinung Ging mundur selangkah, kemudian menatap Yudi Bintoro dan Angga Bintoro dengan rasa heran.

Melihat kekhawatiran ibu dan anak itu, Ayu Lingga segera mengambil inisiatif menenangkan suasana.

“Bicarakanlah dengan baik-baik, jangan sampai menakuti orang lain.”

Mendengar kata-kata ini, Yudi Bintoro menoleh dan melirik Ayu Lingga, ekspresi tidak sabar di alisnya menghilang dan kemudian berkata dengan tenang.

“Oh… begitu ibu guru Ayu.”

Melihat keduanya saling berbicara, Ibu Ging merasa dia sedang tertipu.

Tapi auranya sudah turun sedikit, dan sulit untuk menariknya kembali setelah sampai titik ini, jadi dia hanya bisa berpura-pura perhatian.

“Aku bukan orang yang ingin menyusahkan orang lain, jadi mari kita selesaikan masalah ini. Jika saya harus meminta maaf, maka saya akan minta maaf.”

“Bediri,” tegas Yudi Bintoro kepada bocah Angga Bintoro.

Yudi Bintoro mundur selangkah, bersandar ke meja Ayu Lingga.  Kemudian dia membungkuk dan bertanya pada Angga.

“Siapa yang akan memulai untuk meminta maaf?”

Hanya dalam beberapa menit, Angga Bintoro secara sama-samar samar-samar merasakan situasi saat ini. Tanpa sadar Angga menegakkan punggung dan menegakkan kepalanya.

“Aku!” Angga berkata dengan penuh semangat.

Yudi Bintoro mengangkat dagunya ke arah Adinung Ging.

Sedangkan Angga Bintoro tidak mengerti dengan sikap Yudi Bintoro.

Detik berikutnya, Yudi Bintoro mencengkeram kerah baju Angga Bintoro, kemudian meyeretnya mengirimnya ke depan, dan langsung mendorongnya ke depan Adinung Ging.

“Minta maaf padanya,” ucapnya pendek.

Tindakan Yudi Bintoro yang di luar dugaan ini membuat Adinung Ging dan ibunya mundur dua langkah.

“Benar-benar sialan” gumam Ayu Lingga dalam hati.

“Apakah ini cara kamu memperlakukan anak-anak? Apakah anak ini hanya milikmu sendiri?” Ayu Lingga bermonolog.

Merasakan sikap Yudi Bintoro yang menghardik Angga, hati Ayu Lingga seperti tercekat dan malah mengkhawatirkan Angga akan menangis.

Namun di luar dugaan, Angga malah tidak takut, tetapi dengan penuh semangat meluruskan garis lehernya yang keriput, lalu dia mengangkat dadanya dan berteriak keras.

“Adinung Ging, maafkan aku| Aku berjanji tidak akan pernah memukulmu lagi!”

Ibu Ging menatap keheranan.

Apakah ini bisa disebut permintaan maaf?

Tetapi Adinung Ging yang menghadapi ini seperti akan menangis ketakutan, tersedak dan melampaikan tangannya.

“Tidak… tidak masalah.”

Yudi Bintoro menyaksikan kejadian semuanya itu dengan tenang, dan bahkan mengambil pena milik Ayu Lingga dan memainkannya dengan santai.

Adinung Ging bingung dan langsung menarik pakain ibunya meminta dukungan kekuatan.

Saat yang sama Yudi Bintoro kemudian menanyakan kepada ibu Ging.

“Apakah sekarang kamu sudah puas dengan ini?”

Tentu saja Ibu Ging tidak berani mengatakan tidak puas. Ia khawatir jika lawannya akan meminta apa yang diinginkannya, masalah akan berkembang ke arah yang tak mampu dia kendalikan.

Nyatanya, alasan utama yang membuatnya menyerah adalah saat dia memperhatikan arloji Yudi Bintoro saat tangannya menarik Angga Bintoro.

Ibu Ging tidak takut pada orang yang berkuasa, juga tidak takut pada orang kaya. Tetapi dia takut kepada orang yang kuat dan kaya.

“Oh, anak-anak itu semua adalah teman sekelasnya. Perkelahian itu normal untuk anak-anak. Jangna diambil hati soal perkelahian sesama mereka. Anak-anak kami akan tetap tetap menjadi teman baik di kemudian hari, jadi tidak usah diperpanjang lagi permasalahannya.”

Menyadari ucapannya itu malah seperti mempermalukan sendiri dirinya, Ibu Ging kemudian menatap kepada Ayu Lingga dengan dagu terangkat yang menunjukkan keangkuhannya.

“Tapi ibu guru Ayu, kamu sebagai kepala sekolah, untuk masalah perkelahian anak-anak ini kamu malah tidak memiliki kemampuan dengan baik, bagaimana kamu bisa menjadi guru dengan kemampuanmu seperti ini?” sergah Ibu Ging tajam kepada Ayu Lingga.

Ayu Lingga pun mengerutkan dahinya, dalam hatinya seperti ingin meledak.

“Bukankah aku sudah mengurusnya kemarin?” benaknya berkata dalam sunyi.

“Anda…”

Baru saja Ayu ingin mengucapkan kata-katanya, terdengar suara sebuah pena menggerap ringan di atas meja. Melihat ini Ibu Ging gemetar ketakutan.

Suara Yudi Bintoro terdengar di belakang Ayu Lingga.

“Lalu apa lagi yang anda inginkan Ibu Ging yang terhormat?”

Bagian 4

 

Berita Terkait

KBMTV

FREE
VIEW