Tuan Penguasa

blank

Bagian 2

“Ha ha. Kamu mau menjadikan aku sebagai gurumu? Apakah kamu sebenarnya sudah tau siapa kamu?” tanya Wirawan penasaran.

Srigala yang menjadi tunggangan Wirawan melolong seolah mendukungnya.

“Aku sudah tau tetua adalah jenius hebat Padepokan Astana Pura. Mempunyai keterampilan luar biasa dan teknik tiada tara, Anda adalah tetua kesembilan belas yang mahakuasa,” tanpa malu Dipa Anom menyanjungnya.

Secara logika saja, Dipo Anom sudah bisa menduga orang ini adalah seseorang yang luar biasa, karena dengan usia yang masih muda tetapi dua orang penjaga tadi memanggilnya Penatua kesembilan belas.

“Apa yang membuatmu berpikir aku mau menerima murid yang hanya berada pada tingkat tiga Alam Dasar?” tanya Wirawan ingin tau si bocah penjilat yang tidak tau malu ini.

“Bagi orang lain yang di tahap Alam Dasar tingkat tiga biasa, mereka memang tidak layak menjadi murid Tetua. Namun Aku, Dipa Anom bukan orang biasa seperti kebanyakan orang! Ketika aku lahir, awan keberuntungan turun dari langir, langit bertaburan awan ungu, puluhan ribu bintang meraung dan ratusan bunga bermekaran. Itu semua terjadi ketika aku lahir ke dunia,” Dipa Anom membual tak terkira tanpa malu-malu.

Kening di dahi Wirawan berkerut dan memotong bicara Dipa Anom.

“Cukup, cukup, tidak usah banyak membual lagi. Kamu tidak akan terjebak di Alam Dasar kalau apa yang kamu katakan sesuai dengan kenyataan.

“Huh, tidak ada yang percaya padaku ketika aku mengatakan yang sebenarnya.” Dipa Anom menghela nafas pada dirinya sendiri.

“Katakan, dari mana kamu mendapatkan kristal roh bermutu tinggi ini?” Wirawan mengubah topik pembicaraan.

Dipa Anom ragu-ragu sejenak sebelum berkata, “Saya menukannya di sungai.”

“Sejak kapan kristal spritual begitu mudah ditemukan?” Wirawan berkata dengan wajah datar. Dia tidak mempercayai kata-kata Dipa Anom sedikit pun.

Terlihat sedikit murung, Dipa Anom menurunkan tangannya.

“Jika Anda tidak percaya padaku, lupakan saja,” ia menundukkan kepalanya.

“Kalau begitu, karena Anda sepertinya tidak punya niat menjadikan ku sebagai muridmu, tolong kembalikan kristal roh itu.”

Melihat bahwa bocah ini berani meminta tetua kesembilan belas Padepokan Astana Pura untuk mengembalikan kristal roh, kedua penjaga itu diam-diam berpikir,  “Bocah ini benar-benar tidak tahu luasnya langit dan bumi, berani meminta sesuatu yang sudah ada di tangan  penatua kesembilan belas!

Kedua penjaga tahu bahwa Tetua Kesembilanbelas terkenal di seluruh Padepokan Astana Pura, sampai-sampai orang lain memanggilnya “Ki Demang Petir Ungu”.

Dengan ekspresi terkejut, Wirawan bertanya, “Bocah, kupikir kamu sudah memberikan kristal ini padaku?”

“Itu jika Anda menjadikan aku  sebagai murid Anda,” kata Dipa Anom tegas kepada Wirawan .

Ekspresi Wirawan perlahan berubah dingin, menunjukkan jejak kemarahan. Sebagai seorang ahli di Alam Transformasi, kebanyakan orang tidak mampu menahan tatapannya yang menekan. Namun, Dipa Anom berdiri di sana dengan tenang dan membalas tatapannya, seolah dia sama sekali tidak terpengaruh.

“Bahkan jika Anda tidak ingin mau menjadikan aku sebagai murid pribadi Anda, setidaknya kasih aku kesempatan untuk memasuki Padepokan Astana Pura,” Dipa Anom bernegosiasi.

“Hoho…, menarik. Baik, saya aku akan mengabulkan permintaanmu.”

Wirawan tertawa. Dia menemukan bahwa pemuda yang berdiri di depannya sedikit menarik. Akhirnya dia memutuskan untuk memberi pemuda ini kesempatan. Dengan kata lain ini bisa dianggap sebagai pembayaran untuk kristal roh bermutu tinggi.

“Terima kasih banyak, guru!” Dipa Anom tertawa gembira, menghela napas lega.

“Pelan-pelan, aku belum menjadi guru mu. Tunggu sampai kamu lulus ujian masuk ke Padepokan Astana Pura. Jika kamu tidak lulus ujian dan aku membuangmu, jangan salahkan aku,” Wirawan mengatakan yang sebenarnya dan tidak ingin berjanji apa pun.

“Jangan khawatir tentang itu,” kata Dipa Anom percaya diri sambil menepuk dadanya.

Setelah itu, dia bergumam pelan pada dirinya sendiri, “Jangan ingkar janji, jika aku lulus ujian dan mau menerimaku sebagai murid pribadimu.”

Meski suara Dipa Anom berbisik, Wirawan masih bisa mendengar setiap kata yang diucapkan dengan sangat jelas.

Dia dengan sedih berkata, “Bocah narsis. Oke! Aku, Wirawan, akan melihat sendiri apakah kamu benar-benar jenius yang luar biasa!”

Setelah itu Wirawan memberi isyarat kepada srigalanya untuk bangkit. Hanya dengan satu lambayan tangan, ia mengangat Dipa Anom seperti ayam dan kemudian bergegas melewati gerbang utama Padepokan Astana Pura.

“Wo… woo, kenapa anda membawaku seperti ini? Kenapa aku tidak boleh duduk di atas tunggangan Srigala?” protes Dipa Anom.

“Kamu tidak memenuhi syarat untuk menunggangi srigala hebat ini,” kata srigala dengan angkuh.

“Hei, kamu binatang iblis yang sudah bisa bicara!” Dipa Anom berteriak dengan takjub.

“Tetapi aku tidak pernah menunggangi sampah sepertimu, aku dulu bahkan pernah menunggangi raja binatang iblis!”

“Ck, aku benar-benar ingin menelan bocah ini dalam satu gigitan,” srigala mengeluh dengan marah.

Srigala adalah binatang iblis yang perkasa, namun bocah ini sudah berani menyebut dirinya sebagai sampah. Apalagi dia mengaku pernah menunggangi raja binatang iblis, bocah yang sangat menyebalkan dan tidak termaafkan.

Wirawan menoleh sebentar ke arah Dipa Anom, wajahnya menunjukkan ekspresi rumit.

“Apakah bocah ini mempunyai latar belakang yang hebat?” Wirawan bertanya dalam hatinya tak percaya.

Padepokan Astana Pura menempati area yang sangat luas, bagaikan sebuah desa kecil di dalam kota. Sebuah ruang terbuka yang besar terbentang di dalam Padepokan, para murid luar tinggal di area ini. Tidak jauh dari tempat itu, terdapat banyak pohon besar yang rapat membentuk hutan kecil. Auman binatang iblis sesekali terdengar, ada beberapa bangunan aula tua di dalam hutan kecil itu. Kabut tipis menyebar di area sekitar hutan, membuat suasana yang mengesankan.

Mereka berdua mendekati sebuah area terbuka, sebuah tablet batu terlihat di tengahnya. Wirawan melempar Dipa Anom begitu saja ke arah tablet batu.

Gedebuk!

“Aduh… apakah anda sedang mencoba untuk membunuh tuan muda ini?” Dipa Anom dengan sedih berteriak.

Teriakannya seperti babi yang akan disembelih. Membuat keributan dan menarik perhatian para murid luar yang sedang belajar kanuragan.

“Eh, bukankah itu Ki Demang Petir Ungu? Akhirnya aku bisa melihat idolaku!”

“Ia benar-benar tetua kesembilan belas! Lihat… dia sedang duduk di atas srigala iblis raksasa! Binatang iblis yang luar biasa!”

“Ki Demang Petir Ungu terkenal dengan tombak khasnya. Dia telah banyak membuat binatang iblis di Gunung Seratus Binatang tidak berani datang Desa Lima. Aku berharap sekuat dia suatu hari nanti!”

“Tunggu, anak laki-laki yang dibawa oleh Ki Demang Petir Ungu itu yang barusan teriak ‘kan? Siapa dia?”

“Mereka tepat di depan Prasasti Evaluasi, mungkinkah tetua kesembilan belas menerima seorang murid?”

Murid-murid pelataran luar semuanya membicarakan tentang apa yang sedang terjadi di depan mereka.

“Ini adalah Prasasti Evaluasi. Itu tidak hanya menguji kekuatan Anda, tetapi juga bakat bawaan yang kamu miliki. Cobalah,” Wirawan berbicara sambil menyilangkan tangannya, menatap Dipa Anom di lantai.

Dia ingin melihat betapa menakjubkannya anak nakal yang sombong ini.

“Oke, kalau begitu aku akan mengizinkan anda untuk memperluas wawasanmu!” Dipa Anom berkata dengan penuh percaya diri saat dia naik dari lantai.

Dipa Anom menutup matanya, memasuki keadaan tenang. Dia berdiri di sana tanpa bergerak, seolah-olah itu adalah awal dari seorang ahli yang akan melepaskan gerakan khasnya.

Hampir seribu murid menahan napas, semua mata terpaku pada pemuda di depan mereka.

Mereka semua penasaran betapa menakjubkannya murid pribadi Ki Demang Petir Ungu. Beberapa saat kemudian, Dipa Anom membuka matanya, menyodorkan salah satu tinjunya ke Prasasti Evaluasi.

Peng!

Evaluasi Prasasti bereaksi terhadap pukulan Dipa Anom, beriak warna keabu-abuan, berikut tiga garis tipis hampir tidak kental di depan semua orang.

Kerumunan tercengang.

“Apakah… apakah aku akan buta? Dia…dia baru berada di tingkat ketiga Alam Dasar!”

“Mana mungkin, aku juga hanya melihat tiga garis, dan warnanya abu-abu! Dia benar-benar berada di tingkat ketiga Alam Dasar! ”

“Apakah…apakah dia benar-benar murid pribadi Ki Demang Petir Ungu? Aku bisa mengalahkannya hingga menjadi bubur dengan satu tangan.”

“Apakah masih ada keadilan di dunia ini? Bahkan sampah ini bisa menjadi murid pribadi dari tetua kesembilan belas, aku tidak percaya! ”

“Dia bukan anak haram dari tetua kesembilan belas, kan?”

Bagian 3

Berita Terkait

KBMTV

FREE
VIEW