Sinopsis:
Shandy Buansi seorang gadis polos dari pelosok kampung miskin yang terpaksa putus sekolah, karena itu keluarganya ingin menikahkan dirinya kepada seorang lelaki tua kaya raya. Namun nasib menolongnya menjadi seorang siswa SMA di kota besar melalui program Sponsor Harapan.
Di kota besar itu Shandy Buansi tinggal di rumah wanita kaya raya yang membiyai sekolahnya, putranya juga bersekolah di tempat yang sama dengan Shandy Buansi. Mendengar itu keluarganya di kampung pelosok pun memintanya untuk memikat hati putra kaya raya itu menjadi suaminya, padahal Ryan Hidayat nama putra muda itu memandang Shandy sebagai anak miskin lusuh yang sama sekali tidak menarik.
Keluarga Ibu Indri yang membiayai Shandy akan marah besar bila Shandy ternyata hanya ingin memikat hati putranya semata wayang itu demi memperoleh kekayaan. Ia akan terancam putus sekolah dan dikembalikan ke kampungnya apabila Shandy ternyata bersekolah hanya untuk memperoleh kekayaan dengan cara memikat tuan muda kaya.
Bagian 1
Pada satu malam yang sedang hujan lebat, sekujur tubuh Shandy Buansi basah kuyup.
Angin dingin menerpa lehernya, membuat bibir gadis itu gemetar dan memucat kedinginan. Ia tak mampu menyembunyikan rasa gugupnya dan wjaahnya yang sedikit khawatir, menunggu orang tua asuh yang akan membiayai sekolahnya datang menjemput.
Mengenakan pakaian yang sudah pudar dan lapuk, membuat orang yang lewat selalu melirik sebentar untuk memperhatikannya. Namun ia tidak peduli, tekadnya sudah bulat untuk menunggu orang tua asuhya datang.
Hujan membuat sepatu plastik murahan basah, tas besar dipunggungnya yang berat, membuat dia terlihat lusuh.
Penampilannya benar-benar tidak seperti gaya orang kota metropolitan.
Hingga akhirnya sebuah mobil berwarna hitam menepi di depannya.
Seorang wanita paruh baya keluar dari dalam mobil sambil memegang payung. riasan wajahnya sangat indah seperti orang yang muncul di siaran televisi.
Wajahnya agak sedikit terkejut ketika melihat penampilan lusuh gadis kampung pelosok ini.
“Shandy Buansi? Ayo masuk ke mobil.”
Mata Ibu Indri tertuju pada tas besar milik Shandy Buansi di punggungnya. Samar-samar terdengar tawa dari dalam mobil.
Shandy Buansi pun merasa sedikit malu.
“Ini… ini punya orang tua saya,” ucapnya agak berbisik kepada Ibu Indri.
Tas kulit itu besar mengantung di punggungnya, sedangkan tubuh Shandy Buansi tidak lebih dari 160 cm, sehigga jadi terlihat lucu ketika orang lain melihatnya.
Jauh hari sebelum itu, Ibu Indri mendapatkan telepon dari kakaknya yang secara tidak sengaja bertemu Shandy Buansi yang putus sekolah.
Kakaknya Ibu Indri melalui telepon menceritakan nasib yang menimpa Shandy Buansi, ia meminta adiknya itu mau membantu dengan menyekolahkannya ke kota.
“Shandy Buansi baru saja lulus dan akan masuk ke SMA, dia lulus dengan peringkat pertama, dan dia lah yang mendapatkan uang 100 juta rupiah dari yang kamu hadiahkan kepadanya,” ungkap saudara perempuan Ibu Indri di telpon dengan nada emosi.
“Tapi apa yang terjadi? Uang yang kamu hadiahkan itu malah diambil oleh saudara sepupunya. Neneknya kemudian akan menikahkan paksa dia dengan seorang laki-laki yang sudah berusia 30 tahun,” sambung saudara perempuannya.
Mendengar kisah Shandy Buansi, ia pun langsung menyetujui tanpa berpikir panjang lagi. Bagi Ibu Indri hal itu merupakan perkara mudah.
Mesiki Ibu Indri tidak memiliki hubungan yang begitu baik dengan saudara perempuannya, tetapi jika hanya menyediakan makanan dan pakaian untuk seorang gadis kecil itu hanyalah perkara remeh.
“Ayo masuk ke mobil,” Ibu Indri mengajak masuk dengan lembut.
Pengemudi membantu memasukkan tas kulit Shandy Buansi ke dalam bagasi, agak canggung ia pun masuk ke dalam mobil. Ketika hendak masuk ke dalam mobil, ia mendapati seorang seorang anak laki-laki memandangnya dengan acuh.
Ternyata tawa samar-samar barusan berasal dari anak laki-laki ini.
Anak laki-laki itu mengenakan sweter abu-abu muda bergaya Inggris, sepatu kets di kakinya bersih dan tak bernoda seperti masih baru di ambil dari rak toko.
Kursi mobil berbalut warna putih bersih dan tanpa cacat. Udara segar dan aroma wangi di dalam mobil membuat kesan elegan.
Namun sial bagi Shandy Buansi, ketika baru saja ia menapakkan kakinya ke mobil, sepatu plastik murahannya tiba-tiba sobek. Jemari kaki yang merah yang mengeriput karena dingin air hujan langsung terlihat ketika sandal plastiknya sudah mengangga seperti mulut terbuka.
Shandy Buansi segera menarik jari kakinya karena malu, tetasn air kotor jatuh membasah.
Anak laki-laki di dalam mobil mengangkat kepalanya, wajahnya yang tampan menunjukkan sikap arogan dengan kepercayaan diri yang khas untuk seorang remaja.
Memandang Shandy Buansi acuh, seolah melihat sampah di pinggir jalan.
Shandy Buansi segera menjadi malu dan rasanya segera ingin mencari lubang untuk bersembunyi.
“Kenapa belum masuk ke mobil? Cepat, aku ada acara lagi,” Ibu Indri mendesak dengan nada perintah.
Shandy Buansi berkata dengan canggung, “Ooh… baik.”
Beberapa jam kemudian, Shandy Buansi sudah menjadi salah satu penghuni di kediaman keluarga Indri.
Sementara Ibu Indri sudah pergi ke sebuah acara entah dimana, dan sepanjang malam tidak kembali pulang ke rumah.
Sementara tuan muda anak Ibu Indri, tidak menganggap Shandy Buansi ada di rumah mewah itu.
Shandy Buansi sudah mandi dengan air panas, langsung berbaring di tempat tidur dan segera tertidur mimpi panjang.
“Shandy Buansi” bermimipi, kini sudah lolos dari nasib buruknya yang akan menikahi dengan laki-laki yang jauh lebih tua. Namun, masalah baru segera hadir lagi menimpa dirinya.
Dalam mimpinya itu, ia jatuh cinta dengan tuan muda keluarga kaya raya ini. Saat itu ia sudah duduk di bangku kelas XII SMA ketika ayahnya dikabarkan menderita sakit parah dan memerlukan biaya operasi sebesar 100 juta rupiah.
Untuk meminta bantuan dari keluarga kaya raya ini, tentu saja Shandy Buansi malu, jalan yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan uang adalah hanya dengan bekerja di saat waktu libur sekolah
Sementara itu Ryan Hidayat telah menyiapkan hadiah ulang tahun pacarnya dengan gelang seharga 500 juta rupiah sebagai tanda perasaan cintanya.
Perasaan “Shandy Buansi” tentu saja takjub melihat label harga gelang di meja kerja Ryan Hidayat sambil menghitung angka nol.
“Jika dia bisa menikah dengan keluarga kaya ini, semua kekhawatiran masalahnya akan hilang dengan sekejap mata,” pikiran liar Shandy Buansi berkecamuk.
Shandy Buansi pun mulai merubah gaya dan penampilannya sesuai selera dan tipe Ryan Hidayat. Tentu saja perubahan ini untuk memikat hati Ryan Hidayat agar beralih ke dirinya.
Namun usahanya tidak membuat Ryan Hidayat terkesan, malah orang-orang dalam lingkaran Ryan Hidayat menjadi tidak suka, melihat niat Shandy Buansi yang hanya ingin menikahi dengan tuan muda dari keluarga kaya raya.
Hingga akhirnya niat “Shandy Buansi” untuk memikat Ryan Hidayat diketahui oleh Ibu Rini. Segera saja Ibu Rini memulangkan Shandy Buansi ke kampungnya untuk menikahkan dirinya dengan lelaki tua.
“Saya sudah memberi kamu makanan, pakaian dan biaya sekolah, tapi kamu malah merayu anak saya sebagai balasannya kepada saya?” hardik Ibu Rini.
Jelegar…
Suara guntur melesat di di luar jendela, cahaya perak menyala terang.
Shandy Buansi terbangun dengan keringat yang banyak.
“Mimpi ini seperti benar-benar nyata,” benak Shandy Buansi berkata.
“Halo, kamu mengalami mimpi yang aku buat untuk kamu di masa depan, kenyataan yang bakal terjadi dalam kehidupan di masa depan. Kamu harus tahu, tidak ada gunanya mengandalkan bulan yang jatuh, mengandalkan orang lain menyelesaikan masalahmu,” terdengar suara di kepalanya.
Dalam mimpinya itu Shandy Buansi terasa terasa sangat nyata, seperti bukan dalam sebuah mimpi.
“Aku adalah Sistem pembelajaran yang akan membantu kamu untuk cepat belajar dan membuat kamu menjadi kaya raya,” lanjutnya.
“Sistem pembelajaran dari Ruang Gerbang antar galaksi telah memilih kamu sebagai anak dari keluarga miskin, selanjutnya aku Sistem akan melayani kamu dengan sepenuh hati.”
Ternyata suara yang mengaku dirinya sebagai sistem ini yang membuat gambaran mimpinya terasa sangat nyata. Rencananya ingin memikat hati tuan muda anak dari Ibu Indir, ternyata bisa berakibat fatal. Ia malah di pulangkan ke kampung halamannya. Padahal baru saja ia selamat dari pernikahan sesatnya, dan jika Ibu Indri memulangkannya ke kampung maka sama saja kembali ke lubang masalah yang sama.
Shandy Buansi tidak memperhatikan suara aneh yang di dalam kepalanya.
Tak lama ia sadar dari mimpinya, seorang asisten rumah tangga keluarga Ibu Indri datang membangunkannya untuk sarapan pagi.
Ketika Shandy Buansi melihat Ryan Hidayat yang berpakaian bagus, ia segera terbangun dari angan-angannya.
Ia mundur beberapa langkah ketakutan melihat sosok Ryan Hidayat. Asisten rumah tangga itu memandang Shandy Buansi dengan curiga.
“Kamu belum mengenal tuan muda Ryan Hidayat karena baru saja bertemu, ayo berkenalan dengan tuan muda,” ucap asisten rumah Ibu Indri.
Shandy Buansi memandang wajah tuan muda Ryan Hidayat.
“Nama aku Shandy Buansi.”
Ryan Hidayat acuh dan mengbaikan dirinya yang sedang berusaha ramah. Bahkan dia tidak mau repot-repot sekedar mengangkat kelopak matanya. Dia tidak mengubah posturnya dan makan sarapannya dengan sedikit enggan.
Shandy Buansi diam menunduk, merasakan sikap tuan muda Ryan Hidayat yang melihatnya bagai lalat penganggu perusak pemandangan.
Pelan-pelan ia menyendok serealnya ke dalam mulut, takut-takut berbuat kesalahan di hadapan tuan muda Ryan Hidayat.
Tak lama, sarapan di meja makan yang bagaikan sedingin kutub utara itu pun selesai, kepala palayan rumah Ibu Rini mengantarkan Shandy Buansi ke SMA Pelopor untuk mendaftarkannya sebagai siswa baru.
Kemarin saat berangkat dari kampungnya, Shandy Buansi sudah mambayangkan senangnya tinggal di kota besar, di sekolah baru dan teman-teman sekelas yang baru.
Namun setelah peristiwa mimpi tadi malam, bayangan tentang kehidupan baru yang indah segera buyar.
Mereka menolaknya, membencinya, menggodanya, merudungnya dan sangat membencinya.
Wajah Shandy Buansi kurus karena kekurangan gizi, seragamnya kedombrang karena tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya. Penampilan siswa pindahan ini sangat tidak akan membangkitkan minat siswa untuk berdekatan dengan dirinya.
Shandy Buansi mempekenalkan dirinya di depan kelas dengan tergesa-gesa, lalu berlari kecil kembali duduk ke sudut kecil di dalam kelas.
“Percayalah, belajar bisa membuatmu menjadi kaya, tapi lelaki tidak bisa membuatmu menjadi kaya raya,” terdengar Sistem bicara di kepalanya.
“Gadis kecil, apakah mendengar kata-kata ku? Kamu di sana? Halo. Aku ingin mendengar kamu menjawabnya,” pinta Sistem.
Shandy Buansi tetap diam tidak menjawab.
*%*
Sejak tadi malam, Sistem sudah menyerap dan beradaptasi semua pengetahuan zaman yang ada di dunia Shandy Buansi.
Mendekati tengah hari, setelah kelas fisika berakhir, perut Shandy Buansi pun berbunyi untuk meminta sesuatu..
Sialnya, pada hari pertama pendaftaran sekolah, Ibu Indri lupa memberikan uang saku kepadanya. Kehidupan Ibu Indri yang sangat ambisius menjadi tidak peka sama sekali dengan kehidupan orang lain, akibatnya kini Shandy tidak memiliki uang sama sekali untuk membeli makanan.
Di sekolah barunya itu tentu saja Shandy Buansi tidak mengenal siswa lainnya, sehingga dia tidak berani meminta bantuan untuk mengatasi rengekan perutnya yang minta diisi. Maka satu-satu pilihan adalah menahan laparnya daripada meminta bantuan kepada siswa lain yang belum dikenalnya.
Selesai menyelesaikan jawaban pilihan ganda pada soal ujiannya, dia mulai meremas perutnya yang terus menagih meminta untuk diisi.
Terdengar suara notifikasi dari Sistem, “Ding—selesaikan soal ujian matematika, bila bisa menjawab dengan benar hadiahnya 20 ribu rupiah.”
Suara yang tidak menyenangkan itu terdengar lagi di kepalanya.
Sorot mata Shandy Buansi pun tertuju pada kertas ujian matematika, dia tidak mempercayai kata-kata di dalam kepalanya. Alih-alih mendengar janji manis suara Sistem di kepalanya, ia memilih untuk mengerjakan soal ujian matematika itu dengan sungguh-sungguh, agar mendapatkan jawaban yang benar.
Soal geometri, Shandy Buansi menggambar garis bantu, dan dengan sabar menyelesaikan soal selangkah demi selangkah.
Dia mengerutkan keningnya, membuang kertas coret-coretan beberapa kali dengan kesal.
Sekolah-sekolah elite di kota besar berbanding jauh dengan sekolahnya dulu yang ada di perkampungan terpencil. Shandy Buansi harus memeras otaknya dengan keras untuk bisa menyelesaikan soal ujian geometri.
Seorang siswa di dekat mejanya bangkit, siswa itu sepertinya sudah selesai mengerjakan ujian. Dia menoleh sebentar ke arah Shandy Buansi yang berada di meja sampingnya.
Memperhatikan gadis kurus seperti kurang gizi itu, siswa itu tidak tertarik sama sekali dengan Shandy Buansi. Ia pun berlalu pergi meninggalkan meja untuk mengumpulkan hasil ujiannya ke guru pengawas.
Bianca nama siswa di sebelah meja Shandy tersenyum puas telah menyelesaikan soal ujian matematika. Selepas itu dia mengeluarkan alat kosmetik wajahnya, mengoleskan lipstik di bibirnya dan sedikit bedak tipis-tipis di wajahnya.
Dua siswa perempuan di kursi belakang, masih dengan diam-diam menulis kertas ujian, sedangkan siswa di sebelahnya merias wajah di depan cermin. Meski demikian mereka tidak saling menganggu kesibukan masing-masing.
Berbeda dengan Nopal yang sudah terkenal sebagai perusuh sesat di dalam kelas. Kebiasaannya menggoda semua orang dengan hal-hal aneh, dan selama ujian ini ia membolak-balikkan kertas ujian untuk meminta siswa lain untuk memberikan kunci jawaban kepadanya.
Akhirnya, akarnya adalah angka lima.
Mendengar suara itu, Nopal segera mengetuk meja Shandy Buansi.
“Bagi dong jawabannya,” pinta Nopal dengan suara sedikit mengancam.
Shandy Buansi tidak peduli dengan ancaman Nopal.
“Kerjakan saja sendiri,” balas Shandy.
“Ding, semua jawaban benar, 20 ribu rupiah sekarang sudah ada di saku kamu”
Shandy Buansi tidak mempedulikan kata-kata di kepalanya, ia terus menyelesaikan beberapa soal ujian matematika lainnya. Hingga semua selesai dan ia segera ingin istirahat karena soal-soal ujian matematika ini telah membuatnya kelelahan.
Tanpa sengaja dia memasukkan tangannya ke dalam saku, ketika dia menyentuh selembar uang kertas.
Melihat kertas wajah seorang pahlwan berwarna biru muda itu, Shandy Buansi menatapnya sambil tersenyum.
Namun ia segera sadar dan seketika terkejut, bukan kah sejak awal di sakunya tidak ada lembaran uang sama sekali. Shandy Buansi menggosok matanya untuk meyakinkan lagi penglihatannya tidak salah.
“Apakah ini memang dibuat dari ketiadaan,” tanya benaknya.
“Ding, hadiah telah diberikan, selamat atas hasil kerja kamu tepat waktu. Tugas yang Sistem berikan telah ditukar dengan uang,” ucap Sistem tanpa diminta.
“Dapet uang dari mengerjakan tugas sekolah?” pikirnya.
Luar biasa, uang di tangannya benar nyata! Bukan halu!
Terlalu gila!
Diam-diam tangannya menyelipkan ke sakunya lagi, membuat rasa tenang dipikirannya.
Segera ia terbayang makanan di pelupuk matanya, nasi ayam, soto kuah suwir-suwir bawang merah, segelas jus buah segar. Tanganya masih meremas lembar uang itu dengan kuat.
Membayangkan itu, ia pun bergegas menuju kantin sekolah.
Kantin makan SMA Pelopor menyediakan beberapa makanan gratis untuk siswa, beberapa menu gratis seperti nasi, bubur, roti dan segelas teh panas. Meski gratis tapi menu itu terasa sangat enak.
Namun Shandy Buansi megabaikan menu gratis di kantin makan, ia memilih daging ayam goreng dan lima buah roti. Namun harga daging ayam goreng ternyata agak lebih mahal di luar perkiraannya.
Meski agak kesal, tapi niatnya sudah ingin segera melahap daging ayam goreng.
Lima bungkus roti dan sepotong ayam goreng segera ia lahap dengan cepat sekaligus sampai perutnya kenyang dan cegukan.
Meskipun pun harga ayam gorengnya menyakitkan hatinya, dia telah merasakan kepuasan yang belum pernah terasakan sebelumnya.
Di sudut kantin makan meja lainnya, duduk siswa lain memperhatikan Shandy.
“Kapan anak perempuan kurus itu makan? Aku tadi melihatnya membawa lima potong roti!”
“Dia siswa pindahan. Gue denger dari keluarga susah. Gelas minuman yang dia pake dari sumbangan Proyek Harapan!”
Ryan Hidayat mendengar percakapan siswa itu dari meja lainnya, dia melirik dengan santai. Siswa miskin yang sedang dibicarakan itu adalah siswa yang dibiayai oleh Ibunya. Dia pun mengalihkan pandangannya ke nampan makanan Shandy Buansi.
“Dia sangat kurus, akan kah dia akan mati kekenyangan makan begitu banyak?” nyinyir siswa lain.