Bagian 2
Siswa sekolah SMA Pelopor berasal dari kalangan anak-anak mampu dan kaya, kendati demikian bukan berarti anak kurang mampu tidak bisa bersekolah di sana. Hanya siswa jenius dari kalangan orang biasa yang bisa diterima SMA Pelopor setiap tahun.
Sayangnya Shandy Buansi tidak mengetahui hal itu, ia hanyalah seorang anak miskin yang mendapatkan nilai terbaik se kabupaten di kampung halamannya.
Kendati demikian, ternyata dia masih belum cukup mampu untuk bersaing dengan siswa jenius lain yang berhasil direktut khusus oleh SMA Pelopor, sebagai sekolah bergengsi di kota besar. Ada banyak siswa jenius lain yang bersekolah di sana, walau tidak berasal dari keluarga kaya.
Ketika Ibu Indri memasukkannya ke SMA Pelopor, Shandy Buansi tidak banyak berpikir apa pun. Selama dia bisa terlepas dari rencana pernikahan sesat yang diatur keluarganya, ia akan memilih untuk mengambil kesempatan itu.
Perutnya kini sudah terisi dan merasa kenyang, ia pun segera meninggalkan kantin sekolah. Kembali ke kelasnya dengan semangat, dia pun mengambil kertas ujian untuk mengerjakan soal-soal.
“Sistem, apakah ada hadiah untuk menjawab pertanyaan soal ujian ini ?” tanya Shandy di benaknya kepada Sistem.
Saat ini Shandy sedang membutuhkan uang, karena pulang sekolah nanti ia harus naik kendaraan umum ke rumah Ibu Indri yang agak jauh. Setidaknya dia harus naik bus way dan MRT, perlu sekitar 5 ribu rupiah untuk biaya perjalannya.
Shandy sebelumnya sudah salah mengira harga ayam goreng ketika makan siang tadi, karena harganya lebih mahal Rp 5 ribu. Sedangkan uang yang dia terima dari Sistem sebanyak Rp 20 ribu habis untuk membeli daging ayam goreng dan roti, jadi dia sama sekali tidak punya ongkos untuk membeli tiket.
Saat ini ia benar-benar memerlukan uang sebanyak Rp 5 ribu rupiah untuk bisa pulang ke rumah Ibu Indri yang jauh dari pusat kota.
Ibu Indri tadi malam tidak memberikan uang saku untuknya, dan tadi pagi pengurus rumah mengatakan Ibu Indri sejak tadi malam tidak kembali lagi ke rumah dan langsung terbang ke luar negeri.
Setidaknya Ibu Indri akan pulang ke rumah sekitar satu minggu kemudian.
Meminta uang saku kepada Ibu Indri, tentu saja Shandy tidak berani menelponnya ke luar negeri untuk meminta uang. Apalagi ketika dia mengingat dalam mimpinya semalam, bagaimana Ibu Indri sangat marah dan membuatnya malu karena ingin mendapatkan cinta tuan muda Ryan Hidayat.
Membayangkan berurusan dengan Ibu Indri saja sudah membuatnya takut, apalagi sampai meminta uang kepadanya.
Tidak ada jawaban dari sistem, sampai akhirnya lima menit ditunggu Shandy akhirnya membuka kertas ujiannya.
“Aah… lupakan saja,” Shandy akhirnya memutuskan tidak mengharap hadiah uang dari Sistem.
Belum selesai ia mendesah kecewa, terdengar suara Sistem dalam benaknya.
“Ding — Soal ujian matematika guru Sarjono, bila bisa mengerjakan dengan benar soal pekerjaan rumah sebanyak 80% maka kamu akan mendapatkan hadiah 5 ribu rupiah.”
“Bila setiap hari kamu mampu mengerjakan tugas harian dengan benar sebanyak 90 persen, kamu akan mendapatkan hadiah 15 ribu rupiah.”
“Bila dalam seminggu bisa menjawab soal pertanyaan di semua mata pelajaran akan mendapatkan hadiah 30 ribu rupiah.”
“Periksa semua tugas lebih dulu, total kamu akan mendapatkan hadiah 500 ribu rupiah,” kata Sistem.
Sistma adalah sistem kekaisaran gerbang antar galaksi yang menyediakan hadiah kepada siswa yang terpilih secara acak. Namun ini adalah untuk pertama kalinya sistem menemukan seseorang yang begitu miskin, sehingga sangat membutuhkan hadiah kecil yang diberikan oleh sistem.
Shandy diam beberapa saat, ia pun akhirnya mengerti perintah Sistem dan dengan semangat mulai mengerjakan tugas ujiannya.
“Selesaikan tugas menjawab pertanyaan essay untuk mendapatkan hadiah uang!”
“Mendapatkan uang dari mengerjakan PR!” pekik Shandy dalam hati dengan senang hati.
Ia pun segera segera mengerjakan tugas, bahkan waktu jam istirahat yang belum selesai pun ia gunakan untuk mengerjakan tugas pekerjaan rumah.
Shandy sebenernya tidak begitu mahir mengerjakan soal essay matematika, tapi demi mendapatkan uang lima ribu rupiah untuk ongkos pulang ke rumah Ibu Indri dia rela bekerja keras.
Jumlah uang sebesar lima ribu rupiah sangat kecil, tetapi uang kini sangat penting untuk membantunya yang dalam keadaan miskin sekarang ini.
Shandy curiga, apakah Sistem sengaja memberi hadiah lima ribu rupiah yang pas untuk ongkos pulang ke rumah keluarga ibu Indri? Bahkan tidak lebih dan tidak kurang.
Tak punya waktu memikirkannya, Shandy Buansa pun tenggelam dalam mengerjakan tugas pekerjaan rumahnya.
Kelas XI-4.
Saat jam istirahat Ryan Hidayat baru saja selesai mengikuti pertandingan bola basket, karena dia diminta untuk ikut bermain bersama dalam tim XI-5.
Keringat membasahi dagunya dan meluncur ke bawah lehernya. Sementara para gadis pemandu sorak yang mengikutinya masuk ke dalam ruang kelas itu semakin mengagumi penampilan seksi Ryan Hidayat yang penuh keringat. Bibir mereka sampai mengering melihat ketamanan wajah tuan muda yang menjadi bintang di lapangan basket.
Namun saat semua gadis menatap Ryan Hidayat dengan penuh kekaguman, datang seorang gadis sambil berteriak keras.
“Kakak Ryan, harap segera menyerahkan lembar jawaban ujian matematika,” pinta siswa perempuan yang menjadi ketua kelompok mata pelajaran matematika.
Mendengar itu, seorang siswa laki-laki tertawa dan mencemooh gadis itu, namun siswa ketua kelompok siswa mapel matematika tidak menggubrisnya.
“Loe datang ke sini untuk meminta kakak Ryan mengumpulkan tugas pekerjaan rumah, apakah loe sengaja mencari perhatian kakak Ryan?”
Saat itu begitu banyak gadis-gadis yang masih sibuk memandang kagum Ryan Hidayat, tentu saja ini akan memicu keributan jika gadis ketua kelompok ini memang sengaja ingin mencuri perhatian.
“Pak guru Sarjono bilang, bila kamu tidak menyerahkan pekerjaan rumahmu sekarang, kamu tidak boleh lagi bertanding mewakili kelas,” siswa ketua komite kelompok mengancam.
“Kakak ketua, jika loe memang benar-benar siswa berbakat di kelas unggulan, kenapa loe nggak membantu kakak Ryan mengerjakan tugasnya?” sahut siswa laki-laki itu sambil mendengus.
Siswa perempuan ketua kelompok itu pun kesal, lalu menyerahkan kertas ujian ke Ryan Hidayat.
“Ryan Hidayat—”
Sejurus kemudian Ryan Hidayat berdiri tepat didepannya, ditatap dengan tajam oleh Ryan Hidayat yang ganteng membuat pipi gadis ketua kelompok menjadi merah merona.
Secara tiba-tiba ia seperti kehilangan suaranya untuk bicara.
Mata gadis itu memandang lembaran kertas ujian, rasa gugup segera menyergapnya.
Semua mata orang memandang Ryan Hidayat yang dengan acuh mengambil kertas ujian, lalu meremasnya dan membuangnya ke tempat keranjang sampah dengan tepat.
Hati gadis itu tercebik berantakan merasakan diri terabaikan.
“Luar biasa!”
“hahahahahahahahaha…”
“Kakak Ryan adalah saudara gue yang keren…”
Seisi kelas ramai bersuara memandang peristiwa menegangkan yang baru saja terjadi.
Ruang Kelas XI-5
Suara riuh ramai di kelas XI-4 terdengar keras sampai terdengar di ruang kelas Shandy yang di kelas XI-5. Konsentrasinya yang sedang mengerjakan soal essay itu pun sedikit terganggu dengan keriuhan di kelas sebelah.
Shandy mengerutkan keningnya, memperhatikan lagi lembar yang sudah dia tulis. Lembar tulisan ini sudah beberapa kali dia ganti, namun dia masih belum merasa yakin apakah sudah benar jawaban yang sudah dia tulis.
Masih ada tiga soal lagi yang belum dia tulis jawabannya, itu artinya masih jauh dari nilai 80% jawaban yang benar.
“Shandy, apakah mau menyerah?” tanya Sistem.
Shandy tidak mempedulikan pertanyaan Sistem, dia malah makin membenamkan dirinya untuk terus mengerjakan soal. Kertas jawaban itu ia tutup agar Sistem tidak bisa melihat apa yang dia tulis.
Sesaat kemudian, suara ruang kelas XI-5 yang sebelumnya sunyi, mendadak ramapi ketika serombongan siswa laki-laki berseragam basket dan perempuan pemandu sorak berseragam rok mini masuk ke dalam kelas.
Siswa-siswa itu terlihat ceria dan gembira, mereka sempat terkejut mendapati Shandy Buansi di sudut kelas sibuk menuliskan lembar-lembar jawaban.
“Hah? Dia… tidak keluar istirahat siang?” seru salah satu rombongan.
Namun mereka tidak lagi memedulikan Shandy Buansi yang masih sibuk mengerjakan kertas soal ujiannya.
Mereka beramai-ramai menjajarkan meja-meja di dalam ruang kelas menjadi sebuah meja besar untuk tempat perjamuan makan. Membentuk sebuah meja besar seperti akan mengadakan jamuan besar.
Tidak berapa lama kemudian, petugas pengantar makanan dari restoran Milenium yang memiliki reputasi bintang lima.
Aroma kelezatan pun menyeruak di ruangan kelas, seafood, tulang iga lada hitam, sup jamur dan makanan penutup pudding mangga yang lezat.
Minuman ringan pun berjejer rapih di atas meja sekolah yang kini telah berubah menjadi meja makan, suarana ramai dan tawa riuh di dalam kelas.
Kejadian ini tentu saja hanya ada di SMA Pelopor yang terkenal dengan para siswa yang berasal dari kalangan atas. Jika saja ini terjadi di sekolah kabupaten Shandy Buansi, anak-anak ini pasti akan mendapatkan hukuman dari guru dan tidak boleh masuk kelas.
Namun hanya di SMA Pelopor, seorang wali kelas malah melihat dengan ekspresi tenang di wajahnya, memaklumi kegembiraan para siswa merayakan kemenangan pertandingan basket.
Seorang siswa berteriak lantang, “Ryan Hidayat membawa kemenangan untuk kelas kita.”
“Jika bukan karena Ryan Hidayat yang menyelamatkan score terakhir, kelas kita akan kehilangan reputasi. Lawan kelas kita tidak mudah menyerah, untungnya kita memiliki Ryan Hidayat dan kita menang pertandingan,” riuh seorang siswa lainnya.
“Gue makin suka dengan kak Ryan,” seloroh seorang siswa perempuan, dan langsung mendapat sahutan huuuuu dari gadis-gadis lainnya.
Semua sedang asyik makan dan minum di ruang kelas, ketika seorang siswa laki-laki datang ke hadapan Bianca.
“Bukan kah itu siswa Proyek Harapan?”
Banyak siswa lain memperhatikan Shandy yang terlihat seperti sebatang ruput tipis di sudut kelas yang tidak peduli dengan sekitarnya. Sedangkan beberapa siswa lain sibuk merayakan kemenangan tim basket sekolah, tidak memperhatikan Shandy yang duduk sendirian menulis di sudut kelas.
“Hei, apakah kamu bisa ngomong?” ejek seorang siswa lain menghampiri Shandy.
Melihat itu, Trivia yang sadar membuat Shandy merasa tidak nyaman, segera mendatanginya sambil membawa segelas minuman buah.
“Ini minuman untuk kamu, coba lah…”
Shandy ragu beberapa detik, memperhatikan warnah merah tua yang tampak seperti minuman keras.
“Aku tidak minum,” jawab Shandy.
Jawaban itu membuat Trivia tertawa keras…
“Ini minuman just blue barry, rasanya manis.”
Melihat wajah Trivia yang terlihat baik kepada Shandy, ia mempercayai minuman itu tidak berbahaya.
Shandy mengambil gelas jus itu dengan kedua tangannya dengan sopan, ia langsung meminumnya dalam sekali tegukan.
“Loe anak yang dapat program beasiswa Proyak Harapan, berarti loe anak cerdas. Hihi… loe sopan banget terima jus buah dengan dua tangan,” ungkap Trivia.
Seorang siswa laki-laki memperhatikan Shandy dari jauh, baru mengetahui ternyata anak baru ini selain membosankan juga sangat hemat bicara.
“Tampangnya gak jelek-jelek amat kalo diperhatikan,” gumam siswa laki-laki itu dalam hati.
Meskipun kulitnya agak gelap, mata yang tersembunyi di bawah poninya sangat cerah dan tenang. Membuat para siswa leki-laki merasa sangat nyaman memandangnya.
“Hei, gw denger ujian matematika tadi nilai loe bagus, apa boleh gue salin PR hari ini?” tanya Trivia.
“Oo… boleh kok,” jawab singkat Shandy.
Mendengar jawaban Shandy itu, siswa lainnya pun segera ikut menggerubunginya.
“Shandy, apa boleh gue juga ikutan nyalin juga?” tanya siswa yang lain.
“Wow… wow… tunggu dulu, gw yang minta duluan…” tegur Trivia kepada yang lain.
Siswa yang lain tidak peduli dengan teguran Trivia, mereka beramai-ramai ikut meminta contekan PR kepada Shandy.
Shandy tercengang, bagaimana bisa terjadi seperti ini? Ternyata kabar ia mendapatkan nilai tinggi sudah cepat menyebar kepada teman sekelasnya.
“Sebenernya aku tidak begitu bisa mengerjakan soal-soalnya,” jawab Shandy sopan.
Semua siswa tentu saja tidak percaya mendengar ucapannya.
Mereka semua tertawa menilai sikap Shandy yang terlihat sederhana dan polos.
Untuk menyenangkan Shandy, mereka menawarkan makan yang lezat-lezat itu beberapa kali. Shandy pun tanpa ragu menerima dan langsung memakannya sebagai bentuk rasa untuk menghormati kawan-kawan barunya, setelah itu ia kembali menyibukkan diri menyelesaikan soal ujian essay matematika.
Shandy segera mengerti, kawan-kawan barunya mau repot-repot berbaik hati kepadanya dan menerima sebagai kawan baru tidak lain karena ingin meminjam salinan PR.
Sedangkan kawan-kawan sekelasnya pun kini mengerti, seorang siswa kutu buku akan memiliki sikap dan kebiasaan sibuk dengan dirinya sendiri mengerjakan tugas sekolah. Hal ini tentu saja membuat dirinya menjadi aman, tanpa ada ganguan dari kawan-kawan sekelasnya karena memaklumi siswa kutu buku.
Shandy melirik ke jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul dia siang.
Soal ujian matematika yang diberikan oleh Pak Sarjono sangat sulit. Beruntung bagi Shandy, pekerjaan rumah berbeda dengan soal ujian. Tugas pekerjaan rumah membolehkan siswa untuk membuka catatan dan buku teks, mencari informasi di internet, bahkan bertanya kepada guru atau kepada kawan sekelas lainnya.
Selepas itu Shandy menutup buku teksnya, ia berlalu pergi menunuju ruang kantor guru sambil membawa lembar jawaban.
Melihat Shandy Buansi pergi ke ruang guru, kompak semua siswa kelas XI-5 tercengang.
“Apa si anak pindahan kutu buku itu akan ke kantor guru? Apa dia mau bertanya kepada Pak Sarjono?” semua siswa terdiam dengan ekspersi kagum.
Hampir semua siswa kelas XI-5 tidak pernah bertanya soal kepada guru, karena mereka bingung tidak tahu apa yang akan ditanya.
Bertanya kepada guru, artinya siswa sudah memahami soal dan ingin meyakinkan jawaban yang akan ditulis.
“Anak pindahan kutu buku itu akan membuat kelas kita punya seorang master,” ucap salah satu siswa.
Kelas XI-4 dan XI-5 hanya terpisahkan oleh dinding. Keduanya saling berdekatan.
Namun, kedua kelas bagaikan bumi dan langit walau mereka berasal dari keluarga kaya. Berbeda dengan kelas XI 5, siswa kelas XI-4 merupakan siswa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Saingan mereka adalah kelas XI unggulan, kelas yang isinya adalah siswa-siswa rekrutan dari berbagai kalangan dan diantaranya ada anak-anak orang kaya juga.
Shandy Buansi berada di kelas XI-5, para siswanya adalah anak-anak orang kaya generasi kedua dan tidak mempunyai prestasi apa pun. Mereka pandai dalam hal menghabiskan uang, bersenang-senang dan selalu menduduki peringkat nilai terbawah dalam prestasi belajar. Mereka merupakan contoh anak-anak sampah dari keluarga kaya.
“Gue denger Ryan Hidayat sudah mengumpulkan tugas ujian matematika,” kata seorang siswa kepada kawan-kawannya.
Namun siswa yang lain tidak peduli dan hanya mendengus.
Sedang siswa perempuan lain malah membicarakan hal lain tentang Ryan Hidayat.
“Kakak Ryan Hidayat akan berulang tahun, gue harus kasih kado apa untuk cowok seganteng dia? ”
“Gak usah terlalu halu, Kak Ryan itu badannya tinggi atletis, gue gak layak untuk jadi pacarnya,” siswa perempuan lain menimpali.
Bianca yang mendengarkan obrolan siswa perempuan tentang Ryan Hidayat nyaris ingin terbahak-bahak.
“Siapa pun tidak akan ada yang berani menjadi pacar Ryan Hidayat, siswa perempuan mana pun akan menjadi musuh bersama jika sampai menjadi pacarnya,” pikir Bianca dalam hati.