Bagian 3
Shandy Buansi masuk ke dalam ruang guru, ketika matanya melihat guru kelasnya ada di dalam.
“Pak guru, aku sedang mengerjakan tugas essay, tapi kurang bisa menjawabnya, apakah bisa bertanya?”
Dia menutup layar monitornya yang sedang menjelajah informasi pasar saham.
“Soal apa yang ingin kamu tanya?”
Shandy Buansi pun menunjuk soal pertanyaan di kertas tugasnya.
“Percuma kamu mengerjakan tugas soal ini, tidak usah kerjakan soal ini. Apakah masih ada yang ingin ditanyakan?”
Pak Sarjono kembali menatap tampilan layar di situs web pasar saham.
Ia tidak percaya kepada siswa kelas XI-5 memiliki kecerdasan dan memiliki kemampuan untuk bertanya tentang tugas sekolahnya. Selama ini anak-anak sampah dari kelurga generasi kedua ini, di kelas hanya tidur atau bermain game.
Pak Sarjona sudah bertahun-tahun mengajar di kelas XI-5, tidak pernah ada seorang pun siswa yang bertanya secara khusus tentang tugas pekerjaan rumah. Jika seorang siswa datang kepadanya untuk bertanya, ini adalah hal yang aneh.
“Kenapa aku tidak perlu mengerjakan soal ini?” Shandy Buansi bertanya dalam benaknya.
Dia pun mengajukan lagi pertanyaan soal geometri.
Pak Sarjono melirik ke soal geometri, dan itu adalah soal yang dibuat oleh anak-anak siswa kelas unggulan yang dipimpin oleh ketua kelompok siswa Mapel Matematika.
Dia mengerutkan keningnya.
“Apakah kamu tahu sifat segi empat harmonik? Tunjukkan bagian-bagiannya.”
Shandy Buansi menggelengkan kepalanya.
“Beri tahu saya titik yang salah pada gambar ini?” tunjuk Pak Sarjono dengan pensil.
Alih-alih menjawab permintaannya, Shandy Buansi malah bertanya soal yang lain. Ini membuat Pak Sarjono menjadi emosional, ia pun kesal dan memarahinya.
“Ketika saya mengajarkan kalian di depan kelas, apa kamu tidak mendengarkan apa yang sudah saya jelaskan? Apa kamu sedang berpura-pura rajin di depan saya untuk mengerjakan tugas ini?”
Pak Sarjono tidak mengetahui jika Shandy baru masuk pertama kali dalam kelas hari ini, jadi dia mengira tidak mampu memahami pelajaran yang sudah diajarkan dalam kelas.
“Kamu sudah membuang waktu saya,” gumam Pak Sarjono.
“Salin terorama soal ini sampai jawabannya benar 100 persen, kumpulkan jawabannya jika nanti sudah selesai!”
Shandy Buansi sebelumnya tidak pernah belajar soal terorama di sekolah dulu saat di pelosok kampung, tentu saja ia kebingungan untuk mengerjakannya.
Dia melihat sorot mata gurunya yang penuh dengan sorot menghina, tampak ketidakpedulian gurunya
“Pak guru… aku…”
“Apakah kamu mencari-cari alasan karena kamu tidak mengerti pelajaran ini?”
“Tidak pak,” jawab Shandy Buansi dengan serius.
Dengan sesal Shandy pun keluar dari raung kantor guru sambil menenteng kertas ujian di tangannya.
Suara Sistem terdengar di kepalanya, “Anak muda, pengetahuan adalah kekuatan, orang yang memiliki kekayaan pengetahuan akan mendapatkan rasa hormat dari orang lain. Untuk mengubah cara orang lain berpikir tentang kamu dan mengenal diri mu, Kamu harus lebih duu mengubah diri kamu sendiri.”
Shandy Buansi berhenti di pintu kantor saat mendengar Sistem bersuara di kepalanya.
Sistem melanjutkan kata-katanya, “Banyak orang yang memiliki bakat biasa-biasa saja, tetapi mereka berjuang keras untuk mengasah bakatnya. Apakah kamu ingin menyerah sekarang, tidak perlu lagi mengasah bakat dan kemampuan kamu.”
Setelah mendengar kata-kata Sistem, ia mencengkram dengan erat kertas ujiannya, kemudian dia berbalik dan berjalan lagi masuk ke dalam ruang kantor guru.
Pak Sarjono sudah bersiap pergi ke kelas untuk mengajar, dia mangabaikan Shandy Buansi yang datang ingin mendatanginya.
Shandy tidak berkecil hati, matanya segera melihat seorang guru laki-laki tua yang sedang santai duduk di sudut ruang kantor. Tanpa ragu-ragu Shandy mendatanginya sambil menyerahkan kertas soal ujiannya.
“Selamat siang Pak guru, aku tidak mengerti beberapa pertanyaan pada soal ini, apakah Bapak bisa mengajari saya?”
“Oh, coba saya lihat.”
Pak guru tua yang berusia sudah setengah abad itu tampak sedikit terkejut melihat soal itu, tetapi ia dengan sabar menjelaskan soal itu perlahan. Ia tidak peduli apakah Shandy Buansi seorang muridnya atau bukan.
Setelah setengah jam, Shandy Buansi masih agak bingung mengatasi soal ujian itu. Barulah setelah sepuluh menit ia memilah-milah pikirannya, ia mulai sibuk mengerjakan soal-soal.
Tak lama ia selesai menjawab semua soal, namun tidak ada terdengar suara notifikasi apa pun dari Sistem.
Ia pun memegang erat pensil dengan erat, setelah menarik nafas dalam-dalam ia pun datang lagi menghampiri guru tua yang baik hati itu.
“Mohon Pak guru bisa memeriksa jawaban yang sudah aku kerjakan?”
Guru tua itu terkejut mendengarnya.
Pak Guru Sarjono sudah kembali dari kelas, ia pun heran melihat Shandy yang malah datang ke guru tua itu.
“Apakah murid ini sudah tidak mau lagi mengakui dirinya sebagai guru?” Pak Sarjono mengutuk dalam benaknya.
Guru tua itu bertanya,”Apa dapat nilai untuk tugas ini begitu penting?”
Shandy berteriak dalam hatinya, “Tentu saja itu penting. Ini soal hadiah yang akan diberikan Sistem untuk ongkos ku pulang dari sekolah naik busway dan MRT.”
Jika mengandalkan Pak Sarjono yang kecanduan pasar saham, ia tidak akan bisa pulang ke rumah Ibu Indri sepulang sekolah.
Guru tua itu mengambil pulpen merah dan dengan cepat mengoreksi lembar jawaban Shandy.
Seluruh isi soal ujian ada seratus poin, tidak kurang tidak lebih.
Angka delapan puluh dengan tulisan warna merah tertulis di keras pada kertas lembar jawabannya. Ini adalah keindahan angka yang dia lihat seumur hidupnya.
“Ding — Kertas ujian pekerjaan rumah matematika, selesai dikerjakan dengan benar dan mendapat nilai 80%, terima hadiah 5 ribu rupiah,” suara Sistem terdengar.
Shandy Buansi segera memasukkan tangannya ke dalam saku. Selembar uang kertas lima ribu rupiah ia rasakan.
Senyum ceria segera mengulas di wajahnya. “Terima kasih, Pak guru.”
Setelah Shandy Buansi pergi, Pak Sarjono mendekat pak guru tua dan mengeluh.
“Siswa itu terlalu bodoh, apakah dia sudah menyita waktu Bapak? Siswa ini sangat sulit memahami pelajaran terorama, padahal baru beberapa hari yang lalu saya mengajarkannya di kelas.”
Pak Sarjono tidak mengetahui Shandy Buansi adalah siswa baru pindahan yang hari ini adalah hari pertamanya sekolah.
“Mengapa? Meskipun fondasi dasarnya agak buruk, tetapi logikanya baik-baik saja. Soal essay yang dia kerjakan mendapatkan nilai 80 poin.”
Delapan puluh poin?
Senyum mengejek Pak Sarjono hilang seketika.
Siswa kelas unggulan selalu mendapatkan nilai A dan berada di peringkat atas, beberapa soal yang sulit seringkali hanya ketua tim matematika yang selalu juara. Soal ini pun sering digunakan untuk memilih siswa-siswa yang berpotensi untuk mengikuti olimpiade matematika.
Shandy mampu menyelesaikannya, walau harus bertanya dulu kepada guru untuk memahami soal tersebut.
“Hehe, kalau begitu soal ini begitu mudah. Mungkin Ryan Hidayat yang ada di kelas pak Kalkulus akan mendapat nilai 100,” kata pak Sarjono.
Guru tua itu pun dengan acuh berkata, “Dia? Ryan Hidayat mendapatkan nilai nol!”
Pak Sarjono tidak berkata apa-apa lagi.
Sandy kini sudah mendapatkan uang untuk bisa pulang ke rumah Ibu Indri, tetapi untuk menjawab soal-soal itu ia harus membutuhkan waktu lama untuk memahaminya.
Dia berjalan masuk ke dalam kelasnya.
Beberapa siswa melirik nilai yang tertera di lembar kertas ujiannya, mereka pun langsung berbisik-bisik menyebarkan nilai yang didapat Shandy.
“Wah, loe udah dapat nilai yang bagus, kenapa loe gak pindah ke kelas unggulan?” tanya Trivina.
“Aku hanya dapat nilai standar saja,” ungkap Shandy jujur.
Shandy Buansi tidak mengira, sekolah barunya di SMA Pelopor ternyata jauh lebih sulit dan tidak sesuai perkiraannya. Dia tertantang untuk menjadi siswa terbaik, walau sangat berat perjuangannya.
*#*
Akhirnya Shandy Buansi pulang dari sekolah kembali ke rumah Ibu Indri dengan lancar setelah naik bus kereta bawah tanah.
Begitu memasuki rumah, pengurus rumah Ibu Indri mengabari ada panggilan telepon dari keluarganya di kampung.
“Shandy, keluargamu menelpon dan ingin bicara,” kata Ibu pengurus rumah.
Shandy Buansi pun segera menerima telepon itu.
“Shandy, sekarang hidupmu sudah beruntung, keluarga Ibu Indri sangat kaya raya dan di sana kamu jangan hanya belajar saja…”
Suara itu begitu cempreng dan membuatnya ketakutan ketika mendengarnya.
Shandy Buansi pun menjauhkan speaker telepon dan tidak mendengarkan ocehan nada yang berderak dan serakah.
Ketika Shandy mendengarkan kembali suara itu, terdengar suara cempreng itu lagi.
“Anak gadis tidak perlu pandai-pandai dan membaca banyak buku! Kamu pada akhirnya akan menikah dengan seseorang dan mengurus keluarga di rumah!”
Suara cempreng itu terus menekan dia agar memikat tuan mudah Ryan Hidayat, dia adalah pewaris tunggal kekayaan Ibu Indri..
“Shandy, selama kamu mendapatkan perhatian dan menjadi istri tuan muda dari keluarga Hidayat, kamu akan hidup makmur.”
Ryang Hidayat baru saja datang ke rumah, ketika dia melihat Shandy yang sedang bertelepon dengan menjauhkannya dari daun telinganya.
Ryan melihat dingin dan tidak menyukai sikap Shandy yang tidak sopan saat bertelepon. Berbeda jauh dengan sikapnya semalam kepada ibunya yang terlihat lugu dan sangat ramah dan sopan.
Ryan Hidayat menatapnya dengan sinis.
Untung saja suara di telepon terdengar samar-samar dan Ryan tidak mendengar kata-kata yang di telepon. Andai saja dia tahu keluarganya di kampung sedang membujuk agar memikat hatinya, Shandy tidak tahu harus menjelaskan kepada keluarga Ibu Indri.
Akhirnya percakapan telepon pun selesai.
“Lain kali aku harus waspada menerima panggilan telepon dari kampung, harus lebih berhati-hati lagi jangan sampai mendengar hasutan dari mereka,” pikir Shandy.
Shandy tidak mengerti, bukankah belajar yang rajin itu baik? Aku Shandy Buansi tidak akan naif, dengan belajar aku bisa menjadi kaya dan tidak akan mendalkan kekayaan dari laki-laki.
“Betul sekali,” tiba-tiba suara Sistem terdengar di kepalanya.
Sistem pun melanjutkan, “Selamat, kamu sudah membuka wawasan kamu lebih luas lagi.”
*#*
Sementara itu di dapur Rumah Ibu Indri, Bibi Ratna yang sudah lama bekerja sebagai pengurus rumah Ibu Indri, tidak lagi tahan untuk bergumam lirih ketika mendengar pembicaran telepon Shandy Buansu dengan neneknya di telepon.
“Keluarga Shandy Buansi sangat aneh. Mereka malah ingin menjadikan gadis desa itu menjadi istrinya Tuan Muda.”
Wajah serakah mereka pasti akan terungkap cepat atau lambat, mereka tidak peduli dengan akibatnya.
Bibi Ratna berasal dari kampung yang bertetangga dengan keluarga Shandy Buansi, jadi dia masih mengerti percakapan yang terdengar dari telepon meski dengan logat daerah yang kental.
Mengingat itu Bibi Ratna merasa jijik.
“Nyonya Indri terlalu berbaik hati, dan tidak memperhitungkan usia anak gadis itu yang seumuran dengan tuan muda,”
Ia berkata tidak pedui bila tiba-tiba mendengar percakapannya didengar oleh Shandy Buansu.
“Gadis desa itu akan memandang kekayaan tuan muda, dan tidak khawatir akan membuatnya marah dan Nyonya Indri akan mengusirnya bila sampai mengetahuinya,” lanjutnya.
Pak Rinto, kepala pelayan tersenyum ramah dengan sopan berkata, “Jika tuan muda begitu mudah didekati, dia tidak akan bisa menjadi tuan muda.”
“Aku hanya berharap tuan muda akan lebih ceria, dan akan ada lebih banyak orang dalam keluarga, dan lebih ramah. Apakah ini bagus menurut kamu Ratna? Aku pikir wanita itu mungkin juga berpikir begitu.”
Bibi Ratna tiba-tiba terdiam.
Mereka selama ini membesarkan tuan muda, sangat menyedihkan jika seorang anak gadis kampung itu ingin menjadi istri tuan mudanya.
Ryan Hidayat baru berusia lima tahun ketika kedua orang tuanya bercerai, dia tumbuh tanpa kasih orang tua yang harmonis. Kesibukann Ibu Indri dalam bisnisnya membuat hubungan Ibu dan anak itu menjadi kurang dekat, bahkan ia lupa kalau masih memiliki seorang anak laki-laki yang sedang tumbuh.
Sementara Shandy Buansi yang baru saja menerima telepon dari neneknya, masuk ke dapur untuk mengambil air minum. Diam-diam dia mendengarkan percakapan para pengurus rumah Ibu Indri tentang dirinya yang mendapat perintah untuk membuat tuan muda Ryan Hidayat menjadi istrinya.
“Kita bisa mencegah anak gadis kampung itu bisa memikat hati tuan muda,” kata bibi Ratna.
Para pengurus rumah tangga lainnya sudah melihat Shandy yang masuk ke dapur, dan tidak melanjutkan obrolannya. Melihat obrolan negatif mereka tentang dirinya , Shandy mememutuskan tidak jadi mengambil air minum di dapur.
Shandy diam-diam pergi kembali ke kamarnya untuk melanjutkan tugas ujian pekerjaan rumahnya.
“Sistem, aku ingin mengerjakan PR untuk besok?” kata Shandy kepada Sistem.
“Bagus Shandy,” jawab Sistem.
Ia pun membenamkan dirinya untuk mengerjakan tugas-tugas pekerjaan rumah, kali ini ia tidak memiliki kesulitan mengerjakannya.
Tugas pelajaran kali ini ternyata adalah materi yang sudah pernah ia pejalari ketika Shandy Buansi masih di kampung halamannya. Sebelum ia putus sekolah, dia sudah mendapatkan sebagian pelajaran matematika. Namun biar sudah putus sekolah, ia masih membaca-baca buku pelajaran matematika karena menjadi mata pelajaran terbaiknya.
Dengan mudah Shandy akhirnya menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
Tidak lama kemudian, terdengar notif dari Sistem.
“Selamat, kamu berhasil mengerjakan pekerjaan rumah dengan benar mencapai 90%, hadiah 30 ribu rupiah untuk kamu.”
Tangan Shandy Buansi memasukkan ke dalam sakunya, ia pun menyentuh tiga lembaran uang kertas. Ia pun segera menyimpan uang itu ke dalam sebuah kotak dengan senang.