BAB 2
Orang Miskin Dilarang Sakit
Dokter Kangdu Kun tercengang melihat aksi Yuda Tan yang tak menghormatinya sebagai dokter spesialis terbaik dan kepala dokter rumah sakit.
Emosinya memuncak.
“Kenapa kamu bermain-main dengan orang yang sudah meninggal?”
“Nak, apa kamu ingin pura-pura menunjukkan bakti mu kepada orang tua? Andai kamu kemarin bisa membayar biaya operasi sebesar 50 juta rupiah, mungkin nyawa ibu mu bisa tertolong. Kenapa kamu kemarin masih berpura-pura tidak punya uang?”
Dokter dan para perawat saling berbisik sambil memperhatikan apa yang dilakukan Yuda Tan yang sedang melakukan pengobatan akupuntur.
“Nak, apakah kamu mendengarku?”
Dokter Kangdu Kun makin emosi melihat Yuda malah bergeming mengacuhkannya.
“Apakah kamu seorang dokter? Menggunakan jarum patah, tusuk sana, tusuk sini, ibumu sudah meninggal dengan damai dan kamu masih ingin menyiksanya,” ujar Kangdu emosi.
“Ini ruang UGD, biaya di sini tarifnya penggunanya per jam, sementara kamu belum membayar pelunasan biaya perawatan,” lanjutnya.
“Stop, jangan main-main lagi di ruang UGD,” ujar dokter Kangdu Kun lantang.
Yuda Tan sudah memasukkan jarum terakhirnya dan bernafas lega karena secara keseluruhan prosesnya sudah selesai.
“Ibuku mendertia pendarahan otak secara mendadak, penyakit seperti ini bukan masalah berat dalam pengobatan Leluhur Abadi. Untungnya aku datang tepat waktu, terlambat sebentar saja nyawa ibuku tidak akan tertolong,” gumam Yuda Tan dalam hati.
“Cukup hentikan, nak, kamu benar-benar membuat kekacauan di ruang UGD ini? Kamu akan mendapat masalah hukum,” ujar dokter Kangdu Kun.
“Segera bawa jenazahnya ke ruang mayat,” perintahnya.
Yuda Tan menatap tajam.
“Kata siapa nyawa ibuku tidak tertolong? Ibuku masih hidup,” jawab ketus Yuda Tan.
Kangdu Kun geleng-geleng kepala mendengar ucapan anak muda di hadapannya.
“Masih hidup? Apa otakmu bermasalah? Jika ibumu masih hidup, aku akan memberikan jabatan aku sebagai kepala dokter disini untuk kamu…”
Belum selesai ia bicara, tiba-tiba terdengar bunyi bip dari alat pemantau denyut jantung. Suara bip itu menandakan detak jantung Sulastri sudah kembali berfungsi sebagai tanda ada kehidupan.
Bip… bib… awalnya berbunyi dengan jeda yang lambat, namun tak lama berselang suara bip itu terdengar konstan dan normal.
“Ada apa? Kenapa dengan peralatan monitor itu?”
“Apa… apa yang terjadi?”
Dokter Kangdu Kun dan para perawat yang lain tercengang melihat alat monitor jantung. Bukan kah sebelumnya tidak ada tanda-tanda vital dari tubuh pasien?
Ini adalah ruang UGD dengan peralatan yang canggih, tidak mungkin peralatan itu bisa berdusta.
Melihat tubuh Sulastri kini sudah kembali normal, Yuda segera melepas semua jarum perak yang menempel satu per satu.
Tak berselang lama kemudian, Sulastri bangkit untuk duduk di tempat tidur dan memperhatikan sekeliling ruangan.
Pandangan mata Sulastri jatuh ke Yuda, menatapnya dengan tanda tanya.
“Nak, dimana ibu sekarang?” tanya Sulastri menatap lekat Yuda.
“Ibu, akhirnya sudah siuman,” sahut Yuda Tan.
Yuda dengan penuh semangat meraih tangan ibunya, Sulastri.
Andai saja Yuda Tan tidak menerima warisan Perguruan Leluhur Abadi, bisa dipastikan mereka berdua anak dan ibu ini sudah berpisah alam.
Mata dokter Kangdu Kun melebar sebentar, ia tidak mempercayai apa yang dia lihat. Ia adalah dokter yang menangani pasien Sulastri, dan sebelumnya sudah memastikan nyawa wanita paruh baya dihadapannya sudah meninggal dunia.
Dia yang paling tahu kondisi pasiennya, tapi sekarang pasiennya itu bukannya hanya tidak mati, tapi sudah pulih sepenuhnya.
Wajah Sulastri masih kebingungan melihat keadaan sekelilingnya. Ada dokter dan beberapa perawat di dekat tempat tidur.
“Nak, apa yang terjadi pada Ibu? Apa aku sedang sakit? Lalu bagaimana dengan biaya rumah sakit, kita tidak punya uang dan kita tidak punya kartu jaminan kesehatan.”
“Tidak apa-apa bu, ibu baik-baik saja. Ayo kita pulang sekarang.”
Pengobatan Yuda Tan, bukan hanya sekedar menyembuhkan pendarahan pada otak yang menyebabkan stroke, tapi juga mengobati segala penyakit yang tersembunyi lainnya di dalam tubuh.
Sakrang kondisi tubuh Sulastri bahkan jauh lebih sehat, dan tidak perlu tinggal berlama-lama di rumah sakit yang harga sewa tiap menitnya di luar nalar, mengalahkan harga menginap di hotel bintang enam.
“Baiklah nak, kita sekarang juga pergi dari sini. Ibu sudah bilang, supaya kamu tidak membawa ke rumah sakit, apalagi hanya sakit-sakit ringan begini. Beristirahat sebentar di rumah juga akan sehat seperti semula.
Sulastri sangat tahu pasti, kondisi ekonominya dalam membesarkan Yuda Tan dan saudari perempuannya jauh dari kata mampu.
Jangankan menghabiskan uang ke rumah sakit, membayar iuran jaminan kesehatan setiap bulan sebesar 35 ribu rupiah saja, Sulastri tidak punya uang untuk membayar iuran.
Sulastri pun segara turun dari tempat tidur pasien dan mengajak Yuda Tan segera pergi.
“Berhenti! Siapa yang mengijinkan kalian bisa pergi!”
Kangdu Kun memanggil seorang petugas administrasi rumah sakit yang didekatnya, lalu meminta berkas administrasi pasien. Petugas administrasi itu pun segera menyerahkan kertas kepada Kangdu Kun.
Kemudian dia menyerahkan kembali berkas itu, dan menyuruhnya untuk bicara.
Yuda Tan mengerutkan keningnya, “Ada apa lagi?”
Widodo nama petugas administarasi rumah sakit itu segera menghampiri Yuda Tan.
“Anda harus menyelesaikan dulu biaya pengobatan dan fasilitas ruang UGD selama berada di rumah sakit ini. Setelah itu anda boleh meninggalkan rumah sakit,” kata Widodo.
“Oh ya, berapa biayanya?” tanya Sulastri.
“Selama ibu mendapat perawatan di sini, semua biayanya sebesar 79 juta,” Widodo menjelaskan dengan nada ketus.
Sulastri tercengang mendengar biayanya sebesar itu.
“Apa semahal itu?”
Sulastri merasa heran, jika Yuda Tan tidak segera memulihkan kondisi penyakitnya, dia pasti kini sudah berbeda alam dunia.
Dengan raut marah, Yuda Tan berkata, “Aku menyelamatkan nyawa ibuku sendiri, atas dasar apa menagih biaya semahal itu?”
“Maaf, ini sudah prosedur di rumah sakit ini, kami hanya menjalankan tugas. Semua pasien yang melakukan perawatan harus mengikuti prosedur rumah sakit,” jelas Widodo.
“Apalagi pasien berada di ruang UGD, kami mengenakan biaya per jam, termasuk fasilitas peralatan, obat-obatan dan pelayanan medis rumah sakit,” imbuh Widodo.
Widodo melemparkan setumpuk berkas rincian biaya perawatn Sulastri, ”Ini lihat, semua catatan rincian biayanya lengkap selama pasien Ibu Sulastri berada dalam perawaran sumah sakit.”
Sulastri hanya bisa melihat dengan bingung rincian catatan tersebut. Kecuali sederet angka-angka yang nilainya fantastis tertulis itu, selebihnya ia sama sekali tidak mengerti tulisan dalam catatan-catatan tersebut.
Yuda Tan melihat sekilas tagihan dan ekspresinya menggelap seketika, “Anda yakin dengan semua nama-nama obat ini untuk ibuku?”
Meski Yuda Tan masih berstatus mahasiswa tingkat ke empat di fakultas kedokteran Universitas Tamba dan belum lulus, tentu saja ia paham nama daftar obat-obatan yang terulis di catatan tagihan itu.
Ia merupakan mahasiswa tahun keempat di Universitas Kedokteran Tamba, meskipun belum lulus, ia masih memahami beberapa pengobatan rutin.
Widodo berkata lagi, ”Pasien Ibu Sulastri tidak bisa meninggalkan rumah sakit selama biaya tagihan ini belum lunas.”
Mendapat perlakuan rumah sakit yang ingin menyandera ibunya seperti itu, Yuda Tan pun sangat marah. Ia langsung mencengkram leher Widodo dan menekannya ke dinding.
“Meskipun kalian tidak kompeten dalam menangani pasien, bagaimana bisa orang-orang seperti kalian melakukan pemerasan seperti ini.”
Leher Widodo yang dicekik Yuda Tan hingga hampir tak bisa bernapas, sekuat tenaga ia melepas cekikan tangan kekar itu, tangan Yuda bagai tang besi yang keras.
Leher Xie Haitao tersangkut dan dia tiba-tiba merasa kesulitan bernapas, tetapi tidak peduli seberapa keras dia berjuang, tangan besar Yuda tetap tidak bergerak seperti tang besi.
Sulastri dan dokter Kangdu Kun tercengang melihat pemandangan itu, mereka berusaha ingin melepaskan cengkaraman keras tangan Yuda.
Dokter Kangdu Kun buru-buru menarik tangan Yuda, sayangnya tangan besar itu tak goyah dan kokoh seperti gunung.
Sementara Sulastri pun tak tinggal diam, ia segera maju mengatakan kepada Yuda.
“Nak, cepat lepaskan, tindakanmu melanggar hukum,” kata Sulastri.
Mendengar perkataan ibunya yang lembut, Yuda pun melepas cengkraman tangannya di leher Widodo.
“Uhuk…. uhuk… uhuk…”
Widodo segera menarik nafas dalam-dalam setelah lehernya tercekat.
Sulastri melihat Yuda penuh keheranan, “Nak, kenapa kamu begitu marah?”
Yuda berkata dengan nada emosi, “Rumah sakit ini meminta uang jaminan 60 juta rupiah untuk biaya operasi, kalau aku tidak membayarkannya maka aku tidak bisa menyelamatkan ibu.”
“Praktek perdukunan ini sudah salah mediagnosis dan memutuskan ibu sudah meninggal, mereka menganggap nyawa manusia tidak ada harganya.”
“Sekarang mereka melakukan kecurangan lagi dengan membuat tagihan obat secara ngawur, obat-obatan yang tertulis ini sebagian besar bukan untuk mengobati ibu dan menagihnya kepada kita. Orang-orang seperti mereka ini tidak layak disebut sebagai tenaga medis,” ucap Yuda.
Sejurus kemudian Kangdu Kun berkata tak kalah emosi, “Omong kosong, obat-obatan ini untuk mengobati ibumu, kamu harus membayarnya. Kami akan melaporkan ke polisi jika kalian ingin kabur dari rumah sakit.”
Yuda Tan mengambil berkas catatan tagihan dan berkata, ”Apa kalian berani memeras kami? Apa kalian pikir kami orang miskin dan bodoh yang bisa kalian tipu? Ibuku menderita pendarahan otak yang parah, kenapa ada kapsul pelancar darah Lyophilized pada resep ini? Ada apa dengan suntikan patogenesis anemia?”
“Selain itu, kamu memberikan suntikan sebanyak 25 kilogram patogenesis anemia, apa kalian ingin memberikan suntikan sebanyak itu kepada ibuku?”
“Kamu memberikan dosis suntikan sebanyak 25 kilogram dalam waktu kurang dari 24 jam, seekor gajah pun tidak akan sanggup menerima dosis suntikan sebanyak itu,” hardik Yuda.
Mendengar itu dokter Kangdu Kun tercengang dan langsung membisu.
Sedangkan para petugas medis lain yang berada di dalam ruang UGD wajahya memerah dan mematung seperti tiang beton jalan tol.
Mereka tidak mengira sosok anak muda ini ternyata mengetahui resep obat-obatan dalam tagihan, tidak menyangka pemalsuan tagihan yang selama ini mereka praktekan bisa terbongkar.
Selama ini para dokter mendapatkan komisi dan bonus dari membuatkan resep obat dari perusahaan farmasi, semakin besar tagihan maka akan semakin besar pula keuntungan komisinya. Belum lagi dari komisi keuntungan yang besar dari biaya sewa fasilitas peralatan medis di rumah sakit.
Ruangan masih dalam keadaan sunyi setelah rahasia penipuan mereka terbongkar, ketika terdengar suara dari laki-laki dari luar ruangan UGD.
Seorang pria pauh baya menerobos pintu ruang UGD sambil menggendong anak kecil berusia sekitar sepuluh tahun.
Di belakang pria paruh baya itu seorang perawat mengikutinya dan buru-buru mendatangi Kangdu Kun.
“Dokter… Kepala Dinas Kesehatan Kota Tamba memberikan rujukan kepada pasien dari anak bapak ini. Beliau memberikan perintah agar rumah sakit memberikan pelayanan yang terbaik untuk Bapak ini,” kata perawat itu kepada dokter Kangdu Kun.
Pria paruh baya itu berteriak, “Dokter, tolong… mohon untuk memeriksa kondisi anak saya. Sakit apa yang diderita anak saya.”