BAB 3
Salah Diagnosa
“Cepat bawa anak itu ke atas tempat tidur, periksa kondisinya dan berikan pertolongan pertama.”
Kepala Dinas Kesehatan Kota Tamba merekomendasikan pasien anak ini agar segera mendapat perawatan, tentu saja Kangdu Kun sebagai Kepala dokter rumah sakit tidak akan berani untuk mengabaikannya.
Walaupun prosedur pertolongan harus di UGD rumah sakit, tapi dengan permintaan ini dokter Kangdu Kun mengecualikan tindakan pertolongan medis di ruang UGD walau pun melanggar prosedur rumah sakit.
Kini anak itu sudah berbaring di tempat tidur ruang UGD, wajah kecilnya tampak pucat, nafasnya cepat, dia sedang pingsan, dan kondisinya sangat buruk, Yuda Tan tidak berkata apa-apa lagi.
Dokter Kangdu Kun tidak mempersoalkan biaya pengobatan, karena dengan status lelaki paruh baya yang memiliki dukungan Kepala Dinas Kesehatan Kota pastinya bukan orang sederhana.
“Ini adalah kesempatan langka untuk memberi muka kepada petinggi kota,” pikir Kangdu Kun.
Soal biaya pengobatan untuk saat ini tidak perlu dipersoalkan, walau menyalahi prosedur umum yang berlaku di rumah sakit.
“Bagaimana kondisi anak ini bisa sakit?”
Pria paruh baya itu berkata menjelaskan, “Setelah anak saya pulang dari sekolahnya, dia mengeluhkan tidak enak badan, tubuhnya demam dan sangat parah, hingga akhirnya dia pingsan.”
Kangdu Kun memeriksa anak kecil itu dengan percaya diri lalu berkata, “Jangan khawatir, ini hanya flu biasa. Memang demamnya agak para, untuk menurunkan demamnya saya akan memberikan
Setelah pemeriksaan, dokter Kangdu Kun mengatakan dengan sopan, “Jangan khawatir, ini hanya flu biasa, tapi demamnya agak parah. Saya akan memberinya antipiretik untuk menurunkan demamnya.”
Sikap Kangdu Kun jauh lebih sopan karena ingin menunjukkan penghormatan kepada pria paruh baya, karena dia tidak mengetahui secara pasti bagaimana hubungan antara pria paruh baya itu dengan Kepala Dinas Kesehatan Kamaludin.
Pria paruh baya itu pun menghela nafas lega, “Bagus sekali, mohon maaf sudah membuat dokter repot.”
Anak kecil itu kemudian meminum obat antipiretik, sedangkan petugas medis lainnya dengan lincah mempersiapkan cairan ke dalam suntikan penurun demam.
Yuda Tan memperhatikan mereka sambil berkata, ”Anak ini tidak terkana flu, jika anda menyuntikkan penurun demam akan membuat kondisinya semakin memburuk.”
“Kamu tahu apa? Kamu atau saya yang mengobati penyakitnya? Lebih baik kamu diam dan jangan banyak omong kosong.”
Kangdu Kun sangat marah ketika tindakannya mendapatkan kritik dari Yuda, dan melampiaskan ingin melampiaskannya.
Kangdu Kun mengambil jarum suntik dan segera menyuntikkan atipiretik kepada anak kecil yang kondisinya sudah lemah itu.
Beberapa menit kemudian, rona wajah anak itu terlihat mulai pulih dan rasa sakitnya pun sedikit berkurang.
Kangdu Kun pun dengan puas berkata kepada Yuda, “Kamu bisa lihat, ini hanya gejala flu biasa, sekarang kondisi pasien sudah mulai membaik.”
Pria paruh baya itu pun menghela nafas lega melihat kondisi anaknya.
“Ya… ya… ya, dokter Kangdu Kun memang layak jika menjadi Direktur Rumah Sakit, kemampuan medisnya memang hebat,” kata pria paruh baya itu kagum.
Belum juga kering pujiannya kepada Kangdu Kun, wajah anak laki-laki itu tiba-tiba memucat, sekujur tubuhnya mengejang, sedangkan mulutnya berbusa putih. Suara nyaring terdengar dari instrumen pematau jantung.
Tekanan darah turun, detak jantung melambat dengan cepat, dan nyawanya setiap saat bisa menghilang.
“Dokter, ada apa dengan anak saya,” kata pria paruh baya itu berteriak gugup.
Kangdu Kun melongo cemas, tentu saja ia kaget terheran-heran. Ia mendiagnosa pasien anak kecil itu hanya menderita flu biasa, tapi sekarang nyaris mendekati ajal.
“Dokter Kangdu Kun, tolong anak saya, dia adalah anak saya satu-satunya,” terbata-bata pria paru baya itu berkata dengan sangat cemas.
“Ini…”
Kangdu Kun hanya melongo, keringat membasahi punggungnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
Kondisi pasien anak semakin kritis, namun Kangdu Kun belum juga malakukan tindakan medis apa pun.
Pria paruh baya itu pun semakin panik melihat kondisi anaknya, ia pun melampiaskan kekecewaannya kepada Kangdu Kun
“Dasar dukun, kalau terjadi sesuatu pada anakku, kamu harus ganti dengan nyawamu!”
Yuda hanya memperhatikan keadaan tersebut, namun ia tak tahan juga untuk mengambil tindakan.
“Aku yang akan menangani pasien ini,” suara Yuda terdengar tegas di segenap ruang UGD.
Yuda Tan sebagai orang yang sudah mendapatkan warisan Perguruan Leluhur Abadi, salah satu warisannya pengobatan leluhur. Ia bertindak karena dia harus mengamalkan ilmunya untuk menolong orang.
“Sudah aku bilang kamu salah mendiagnosa pasien, penyakit ini bukan karena flu biasa, tetapi karena keracunan,” kata Yuda sambil mendatangi ke ranjang pasien.
Ia pun segera mengeluarkan jarum perak, mulai menusukkan satu per satu jarum akupuntur ke tubuh si anak.
“Kamu mau melakukan apa kepada pasien anak ini?”
Kangdu Kun segra melangkah ingin melarang Yuda melakukan tindakan, namun Kangdu Kun berubah pikiran. Alih-alih melarang Yuda mengambil tindakan, Kangdu Kun malah terlihat ingin melepas tanggung jawab.
“Ini rumah sakit, apa yang kamu lakukan kepada pasien di rumah sakit, kami tidak bertanggung jawab. Jika kamu terus mengambil tindakan, kamu harus bertanggung jawab dan menerima konsekuensinya!”
Ia sudah memikirkannya, di satu sisi ia harus mempertahankan reputasinya sebagai kepala dokter di rumah sakit.
Namun melihat pasien anak kecil ini sudah tidak mungkin akan tertolong lagi, hal ini akan membuat Kangdu Kun bukan hanya kehilangan jabatannya sebagai kepala dokter, tapi malah akan dituntut ke penjara karena melakukan mal praktek.
Namun jika Yuda Tan yang mengambil tindakan, ia akan terbebas dari kesalahan dan tuntutan hukum. Kangdu Kun terbebas dari tanggung jawab.
Berbeda dengan Yuda Tan, ia tidak peduli dengan resiko itu semua. Sebaliknya ia fokus dengan memberikan tusukan jarum akupuntur untuk menetralisir racun.
Semua orang menyaksikan jarum akupuntur itu telah menancap ke tubuh, terlihat ekor jarum perak sedikir bergetar, seolah ada kekuatan yang membuatnya bergetar.
“Apakah dia adalah dokter praktek di rumah sakit kalian?” tanya pria paruh baya kepada Kangdu Kun.
“Ooo.. bukan, tidak… dia bukan dokter, dia hanya anggota keluarga pasien,” kata Kangdu Kun.
“Awalnya aku masih bisa menolong kondisi pasien anak ini, tapi sekarang dia sudah membuatnya seperti ini, semua tidak ada hubungannya dengan aku. Anak muda ini telah mengacaukannya,” jawab Kangdu Kun dengan licik.
Pria paruh baya itu kaget mendengar perkataan Kangdu Kun, jelas aja ia marah karena anaknya seperti menjadi kelinci percobaan orang yang tidak ia kenal.
“Celaka! Berani sekali kamu yang hanya keluarga pasien untuk bertindak atas nama dokter!” hardik pria paruh baya itu.
Matanya melotot dan siap untuk menghajar Yuda.
Belum sempat tangannya ingin menghajar Yuda, ketika ia dikejutkan ketika melihat tubuh anaknya sudah berhenti kejang-kejang dan mulutnya tidak mengeluarkan busa lagi. Wajahnya berubah menjadi agak cerah, dan suara indikator dari mesin monitor sudah terdengar normal.
“Ini… ada apa? Apa yang terjadi pada anak saya?”
Semua orang di dalam ruang UGD tercengang.
Kangdu Kun tentu tidak percaya anak muda itu bisa menyembuhkan, sebelumnya ia mengira ketika menyembuhkan Sulastri hanya karena kebetulan. Tapi sekarang, anak kecil itu pun terselamatkan.
Semua orang di dalam ruangan mengehela nafas lega, karena tidak ada korban nyawa. Satu nyawa sudah terselamatkan.
“Anda jenius sekali. Dokter jenius, apa penyakit anak saya?” tanya pria paruh baya penasaran kepada Yuda.
“Dia tertular sejenis virus. Apakah akhir-akhir ini dia bersentuhan dengan sesuatu yang tidak bersih, seperti tikus atau hewan lain yang membawa banyak kuman?” tanya Yuda.
Pria paruh baya itu menjawab, “Saya rasa tidak mungkin, hari ini anak saya hanya pergi ke sekolah.”
Ketika Yuda merasakan waktunya sudah cukup, ia melepas jarum perak pada kedua jari telunjuk anak kecil itu. Kemudian ia memencet jari anak kecil itu, dua tetes darah hitam keluar dari jari telunjuknya, lalu ia membuang darah itu ke tempat sampah.
Yuda mencabut semua jarum perak yang lain di sekujur tubuh anak itu, dan tak lama kemudian kelopak mata anak itu terbuka dan melihat sekeliling ruangan dengan pandangan mata kosong.
Melihat putranya sudah sadar kembali, pria paruh baya itu berseru dengan takjub.
“Luar biasa, Anda dokter jenius!”
Yuda dengan tenang berkata kepada pria paruh baya.
“Darah yang mengandung racun sudah saya keluarkan dari tubuhnya, minumkan air kacang hijau setelah pulang ke rumah. Lain kali jangan biarkan anak-anak bersentuhan dengan hewan liar yang kotor,” Yuda memberi saran.
“Dokter jenius, terima kasih telah menyelamatkan anak saya.”
Pria paruh baya itu merogoh kantung bajunya, dua tumpuk uang lembaran merah seratus ribuan ia berikan ke telapak tangan Yuda Tan.
Tak merasa sungkan, Yuda menerima uang pemberian pria paruh baya itu dan segera menyerahkan kepada ibunya, Sulastri.
“Dokter jenius, sekali lagi terima kasih karena telah menyelamatkan anak saya!”
Perguruan Leluhur Abadi memberikan aturan, tidak menentukan besar kecilnya pembayaran ketika menolong orang lain. Berapa pun orang lain memberikan jasa pengobatan, harus ikhlas menerimanya. Bahkan bila pihak lain memberikan gunungan emas pun wajar saja, dan jika tidak memberikan sepeserpun juga tidak masalah. Semua berdasarkan suka rela, baik yang memberi maupun yang menerima.
Sementara Sulastri masih terheran-heran, bagaimana anaknya itu tiba-tiba bisa menjadi dokter jenius dan menyembuhkan dirinya dan anak kecil. Bahkan ia bisa menghasilkan uang dalam sekejap mata.
Sedangkan pria paru baya itu menggendong anak laki-lakinya ke punggung, kemudian sebentar berbalik sambil meludahi Kangdu Kun dengan kasar.
“Dasar dukun, omong kosong, dokter abal-abal masih menjadi kepala dokter!” ujar pria paruh baya itu dan langsung bergegas keluar dari ruang UGD.
Kangdu Kun tentu saja berang dan dengan penuh emosi mendapat hinaan seperti itu, ia pun membentak Yuda Tan.
“Apa kamu seorang dokter? Siapa yang memberimu izin untuk mengobati orang?”
“Harusnya Anda berterima kasih kepada ku,” balas Yuda.
“Orang seperti Anda yang tidak punya etika kedokteran dan kemampuan medis tidak layak menjadi seorang dokter,” lanjut Yuda Tan.
“Itu bukan urusan kamu!” balas Kangdu Kun.
“Faktanya kamu sudah melakukan praktek dokter secara ilegal! Aku akan melaporkanmu ke polisi,” ancam Kangdu Kun.
Perseteruan mereka berdua terhenti ketika dari pintu masuk ruang UGD, datang Kepala Dinas Kesehatan Kota Tamba bersama Direktur Rumah Sakit Kamaludin. Tampak juga Kamaludin, direktur Rumah Sakit Pusat Tamba mendampingi Yahya Jatmiko berjalan di sampingnya.
Melihat para petinggi rumah sakit berjalan masuk, diam-diam Kangdu Kun berbisik kepada Yuda Tan dengan nada penuh ancaman.
“Nak, jangan banyak bicara, tutup mulut! Praktek pengobatan ilegal di negeri Konoha adalah kejahatan serius, kamu bisa terancam hukuman pidana setidaknya lima sampai enam tahun penjara. Sekarang, biarkan saya membantumu bebas dari ancaman hukuman,” bisik Kangdu Kun.
“Mana pasien yang aku rujuk ke rumah sakit ini? Apa sudah datang?” tanya Yahya Jatmiko kepada Kangdu Kun.
“Apakah yang dimaksud Bapak, pasien yang mengalami demam? Saya sudah berhasil menyembuhkannya, baru saja mereka meninggalkan ruangan ini,” Kangdu kun mengatakan dengan penuh rasa lega, sepertinya ayah dari pasien anak kecil tadi tidak memberitahu secara langsung .
Dengan begitu Kangdu Kun tidak perlu repot untuk menjelaskan persoalannya.
Namun Yahya terkejut mendengar jawaban Kangdu Kun, sebagai Direktur rumah sakit ia selama ini mengenal Kangdu Kun hanyalah seorang kepala dokter yang tidak begitu banyak punya kemampuan medis dan sedikit prestasi.
“Apakah benar kamu yang menyembuhkannya?” tanya Yahya heran.
“Ya benar Direktur Yahya, saya telah menyembuhkannya,” jawab Kangdu Kun penuh keyakinan.
Setelah itu ia berbalik dan menatap Yuda Tan dengan mata mengancam.
Melihat tatapan itu, Yuda hendak melangkah maju untuk membongkar kepalsuan Kangdu Kun. Namun Sulastri mencekal Yuda dengan tangannya, agar Yuda tidak usah ikut mencampurinya.
Sulastri tahu putranya tidak memiliki ijin praktek medis sebagai seorang dokter, masalah ini tentunya akan membuat Yuda bermasalah dengan pihak berwajib.