KBMTV.ID | Diam-diam pemerintah kerajaan Arab Saudi telah menghapus nama Palestina dari peta buku teks sekolah dalam kurikulum pendidikan di negera tersebut.
Informasi tersebut terdapat dalam laporan yang dirilis pada Mei 2023 oleh Institute for Monitoring Peace and Cultural Tolerance in School Education (IMPACT-se) yang berbasis di Israel dan London.
Organisasi internasional itu menganalisis isi semua buku pelajaran di seluruh dunia untuk mendorong perdamaian dan toleransi yang sesuai dengan standar dari UNESCO.
Organisasi tersebut telah memantau buku pelajaran Arab Saudi sejak awal tahun 2000an, memeriksa perubahan yang dilakukan pada lebih dari 80 buku teks dari kurikulum Saudi 2022-23 dan lebih dari 180 buku teks dari kurikulum sebelumnya.
Salah satu yang menjadi sorotan publik adalah gambar peta Palestina yang sudah dihapus dari buku teks Studi Sosial dan Nasional 2023-2024. Terlihat peta Arab Saudi dan negara-negara di sekitarnya, dalam peta tersebut wilayah Palestina dibiarkan tanpa nama, ini tidak seperti peta yang berada pada buku teks tahun ajaran 2022.
Menurut IMPACT-se buku teks tersebut mengarah kepada Yerusalem Timur sebagai warga kota dan sebagai Ibu Kota dari Palestina bukan seluruh dari Yerusalem.
Perubahan Kurikulum
Laporan berjudul “Update Review Saudi Textbooks 2023-2024” yang dirilis oleh IMPACT-se, menyebut seluruh buku pelajaran ilmu sosial untuk siswa sekolah menengah, yang berisi konten anti-Israel, telah dihapus pada kurikulum saat ini.
“Siswa tidak lagi mempelajari konten yang mendefinisikan Zionisme sebagai gerakan rasis Eropa yang bertujuan untuk mengusir warga Palestina, mengambil alih tanah Arab, sumur minyak dan tempat suci Islam dan Kristen di Yerusalem,” ungkap laporan tersebut, dikutip KBMTV pada Minggu (9/6/ 2024).
Selain itu, Arab Saudi juga menghapus kata-kata yang menggambarkan kebencian terhadap Israel dalam kurikulum pelajaran terbarunya.
Tentang Israel yang mengusir paksa warga Palestina dari tanah milik nya juga di hapus dalam kurikulum terbaru Arab Saudi. Meskipun demikian, nama Israel masih belum ditulis di peta yang ditampilkan dalam buku ajar. Namun di beberapa peta, nama Palestina dan peta wilayahnya telah dihapus secara sistematis.
Perubahan tersebut diduga dengan terkaitnya pembicaraan yang dimediasi kan Amerika Serikat yang berupaya agar menormalisasikan hubungan antara Riyadh dan Tel Aviv. Riyadh mengatakan tidak akan menjadi perantara hubungan dengan Israel sebelum negara Palestina diberikan, sesuatu yang di tolak oleh pemerintahan sayap kanan dari Israel.
Pengakuan Negara Israel
Normalisasi masih menjadi hal yang tabu di kalangan masyarakat Arab. Sebuah jajak pendapat yang dilakukan tahun 2022 oleh Arab Center Washington DC menemukan bahwa 84% warga Arab yang disurvei tidak menyetujui pengakuan negara mereka terhadap Israel.
“Di Arab Saudi, dukungan untuk normalisasi mencapai 5%,” sebut survei tersebut, dikutip dari CNN, (19/6/2023).
Elie Podeh, seorang profesor di Departemen Studi Islam dan Timur Tengah di Universitas Ibrani, yang telah mempelajari sistem pendidikan secara ekstensif di wilayah tersebut, mengatakan bahwa perubahan tersebut adalah bagian dari “proses yang sangat panjang” dalam moderasi.
“Ini bukan suatu kebetulan. Ini adalah semacam kebijakan dari atas dan saya pikir jika Anda menggabungkan dua tren, memerangi ekstremisme dan yang lainnya, maka Israel secara bertahap akan lebih diterima sebagai pemain di Timur Tengah. Maka Anda bisa memahami mengapa kita melihat perubahan tersebut dalam sistem pendidikan,” kata Podeh.
Namun bahkan penghapusan seluruh bab mengenai perjuangan Palestina tidak berarti pemerintah Saudi akan tiba-tiba berhenti peduli.
“Jelas mereka tidak meniadakan, mereka mendukung isu Palestina. Bukan berarti mereka tiba-tiba pergi ke satu arah dan mengabaikan arah yang lain. Tidak, tidak mungkin,” kata Podeh.
Namun Podeh dan para ahli lainnya sepakat: persepsi publik terhadap Israel akan dibentuk oleh lebih dari sekedar buku teks.
“Jika Anda bertanya kepada saya sekitar 20 tahun yang lalu, saya akan mengatakan (buku teks memiliki) banyak dampak… Namun saat ini, media sosial, dan begitu banyak instrumen sosialisasi, sampai batas tertentu, meremehkan peran buku teks,” kata Podeh.
Diwan mencatat bahwa buku pelajaran memang penting, namun “pandangan masyarakat dipengaruhi oleh pesan media, peristiwa global, dan pengalaman pribadi. Tidak semuanya berada dalam kendali negara.”[]