KBMTV.ID | Setiap tamu Allah yang pulang dari tanah suci Mekkah, akan mendapatkan gelar Haji sebagai tanda sudah menunaikan ibadah haji.
Pengasuh LPD Al Bahjah, KH Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya, dikutip KBMTV (23/6/2024) dari kanal Youtube Al Bahjah TV, menuturkan agar umat islam berprasangka baik.
“Umat Islam harus berprasangka baik kepada orang sudah melaksanakan haji bahwa mereka sudah dipilih untuk menjadi tamu Allah,” ujar buya Yahya.
Ia mengatakan, sebagai saudara semuslim, seharusnya senang ketika melihat orang yang baru pulang haji. Bukan malah timbul rasa dengki, iri, dan penyakit hati lainnya.
“Kalau Anda senang lihat orang pulang haji itu tanda Anda akan segera bisa nyusul. Tapi ada orang lihat orang haji marah, dengki, maka ketahuilah dia tidak akan bisa haji. Kalau pun haji, umrah, jor-joran dia, bukan karena Allah, karena pengen segera dapat label pak haji,” lanjutnya.
Tradisi Gelar Haji
Terkait sebutan atau pemanggilan haji di Indonesia, menurut Buya Yahya, tradisi tersebut tidak masalah.
“Ini termasuk menghormati para tamu Allah. Namun, bagi orang yang sudah haji tidak perlu ingin dipanggil dengan gelar haji,” katanya.
“Namun karena tradisi di Indonesia sudah biasa ada Pak Haji, kalau ada orang haji ya pakailah Pak Haji. Karena kalau sudah menjadi kebiasaan, bisa jadi menjadi orang yang gak enak. Cuma kalau Anda udah tiba-tiba sudah haji (dan) gak dipanggil pak haji, ya nyantai,” tuturnya.
Buya Yahya berpendapat, gelar haji itu penting. Namun, jangan sampai orang yang telah haji tergoda hatinya oleh setan. Hal penting bagi orang yang sudah melaksanakan kewajiban Rukun Islam kelima adalah menjaga hati.
“Jadi, kalau ada tetangga ya panggil haji gak masalah. Apa sih salahnya manggil aja. Kalau kita gak manggil haji yang sombong kita jadinya. Ngiri panggil dia haji, jadi kita yang kotor. Cuma maksud kami adalah di saat Anda tidak dipanggil haji, biasa aja,” ujarnya.
“Jadi jaga hati penting. Jaga hati orang jangan sakiti dia. Jaga hati kita biar agar kita tidak sombong,” pesan Buya Yahya.
Sejarah Gelar Haji
Melansir dari situs resmi Kementerian Agama (Kemenag), pemberian gelar haji dan hajjah di Indonesia sudah ada dan terjadi sejak lama. Dalam keterangan disebutkan bahwa tradisi pemberian gelar haji atau hajjah di Indonesia itu sah-sah saja, dan dalam perkembangannya lazim di Indonesia. Bahkan tradisi seperti itu sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga beberapa negara lain.
Asal usul atau sejarah tradisi penyematan gelar haji dan hajjah di Indonesia sendiri bisa dilihat dari tiga perspektif.
Pertama, dari perspektif keagamaan, haji adalah perjalanan untuk menyempurnakan rukun Islam. Perjalanan yang jauh dan panjang, biaya yang mahal, persyaratan yang tidak mudah, membuat haji menjadi sebuah perjalanan ibadah yang semakin penting dan tidak semua orang bisa lakukan.
Untuk itulah penyematan gelar haji dan hajjah dianggap layak dan senantiasa disematkan bagi mereka yang berhasil melakukannya.
Perspektif kedua dari kultural (budaya), narasi dan cerita-cerita menarik, heroik, dan mengharukan selama berhaji juga terus berkembang menjadi cerita popular yang membuat banyak orang tertarik naik haji. Sebagian besar tokoh-tokoh masyarakat juga bergelar haji.
Dengan begitu membuat ibadah haji semakin penting dan gelar haji atau hajjah di Indonesia punya nilai dan status sosial yang dianggap tinggi.
Kemudian dari perspektif kolonial, pada zaman dulu pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk membatasi jamaah haji dengan berbagai cara karena takut akan pengaruh haji bagi gerakan anti-penjajahan.
Salah satu caranya adalah dengan membuka Konsulat Jenderal pertama di Arabia pada tahun 1872. Tugas konsulat ini adalah mencatat pergerakan jamaah dari Hindia Belanda, dan mengharuskan mereka memakai gelar dan atribut pakaian haji agar mudah dikenali dan diawasi. Maka berawal dari aspek kepentingan Hindia Belanda inilah muncul gelar haji di Indonesia.[] Dari berbagai Sumber.