KBMTV.ID | Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan bahwa penahanan pendiri sekaligus CEO Telegram Pavel Durov, bukanlah keputusan politis.
“Saya telah melihat berita bohong mengenai Prancis setelah penangkapan Pavel Durov. Prancis sangat berkomitmen pada kebebasan berekspresi dan berkomunikasi, pada inovasi, dan pada semangat kewirausahaan–dan akan tetap begitu,” tulis Macron di media sosial X pada Senin.
Ia mengatakan bahwa penangkapan Durov di tanah Prancis terjadi sebagai bagian dari penyelidikan yudisial yang sedang berlangsung.
“Itu sama sekali bukan keputusan politik. Terserah kepada hakim untuk memutuskan masalah tersebut,” ujarnya.
Otoritas yudisial Prancis memutuskan pada Minggu (25/8/2024) malam untuk memperpanjang masa penahanan Durov, yang dibatasi hingga 96 jam, demikian laporan Le Point.
Media Prancis melaporkan bahwa Durov telah ditahan di bandara utara Paris setelah tiba dari Azerbaijan pada Sabtu, (24/8/2024).
Pavel Durov merupakan CEO Telegram yang memiliki kewarganegaraan ganda Rusia-Prancis, telah didakwa melakukan pelanggaran terkait penggunaan aplikasinya secara kriminal, termasuk terorisme, perdagangan narkoba, pencucian uang, dan penipuan, yang dapat membuat miliarder berusia 39 tahun itu dipenjara hingga 20 tahun.
Telegram Aplikasi Bebas
“Penangkapan ini sangat mengejutkan. Telegram adalah aplikasi yang memungkinkan Anda berkomunikasi dengan bebas. Penangkapan ini tidak didasarkan pada apa pun kecuali tekanan,” kata politisi dan penulis Prancis Arash Derambarsh.
“Telegram adalah platform yang hanya menyensor sedikit konten dan sikap mereka yang mengizinkan hampir semua konten di platform mereka telah mengganggu para politisi di Barat dan Rusia sejak lama. Sedihnya, sepertinya Durov mungkin menjadi Julian Assange berikutnya,” kata Pascal Lottaz, profesor studi netralitas di Universitas Kyoto.
Lottaz mengemukakan bahwa banyak orang menduga bahwa penahanan Durov adalah upaya Perancis – dan juga organisasi regional Uni Eropa – untuk menindak Telegram.
CEO Telegram Pavel Durov berpotensi mengalami nasib serupa dengan pendiri WikiLeaks Julian Assange karena aplikasi perpesanan buatannya menghargai kebebasan berpendapat hingga mengganggu banyak politisi, kata sejumlah ahli kepada Sputnik.
Sebelumnya pada Juni, pengadilan Amerika Serikat di Kepulauan Mariana Utara menjatuhkan hukuman kepada Assange sebagai bagian dari kesepakatan pembelaan dengan jaksa federal yang mengakhiri perjuangan hukumnya selama 14 tahun melawan ekstradisi ke AS.
Assange selama bertahun-tahun menghadapi tuntutan berdasarkan Undang-Undang Spionase karena memperoleh dan mengungkapkan informasi rahasia yang menjelaskan kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pasukan AS di Irak dan Afghanistan.[]