KBMTV.ID| Tepat 75 tahun lalu, pada 1 Oktober 1949, Partai Komunis China (PKC) mengambil alih kekuasaan dinasti kekaisaran di China dan mengakhiri perang saudara yang panjang.
Pemimpin Partai Komunis China (PKC) saat itu, Mao Zedong, mengumumkan kelahiran sebuah negara baru: Republik Rakyat China.
Mao kemudian menerapkan kebijakan Marxis yang berpusat pada petani, berbeda dengan komunisme Soviet yang berpusat pada kelas pekerja.
Mulai saat itu, terjadi perubahan besar dimana perekonomian agraris bertansformasi menjadi industri pertanian.
Mao kemudian melarang kepemilikan lahan pertanian dan properti pribadi, sebagai gantinya ia membentuk brigade buruh dan pertanian kolektif.
Kolektivitas dan sentralisasi ekonomi ini mengubah masyarakat China, semua kepemilikan lahan adalah milik negara.
Alih-alih ingin mensejahterakan rakyatnya, industri pertanian ala Mao justru menyebabkan krisis pangan yang parah, setidaknya 20-45 juta orang dilaporkan meninggal dunia akibat kelaparan sepanjang tahun 1958 sampai 1962.
Revolusi Kebudayaan
Hal ini menyebabkan terjadinya kritikan pedas dari para sarjana China menyerang kebijakan industri pertanian ala Mao, bahkan para guru, dosen, ilmuan yang mengkritiknya sebagai arus yang berlawanan dengan ajaran konsep pertanian leluhur bangsa China.
Untuk memberantas kritikan pedas itu, Mao segera menggagas “Revolusi Kebudayaan” pada era 1960an (1966-1976), tujuannya yakni menyingkirkan budaya kasta ekonomi yang sudah mengakar kuat di China sebagai gaya hidup “budya borjuis” .
Kelas menengah, terdidik dan feodal melemahkan kekuatan rakyat China, untuk itu Mao tidak segan-segan menghancurkan keluarga, klan sebagai musuh Partai Komunis China.