KBMTV.ID | Perlakuan buruk hewan luwak dalam industri kopi luwak, membuat organisasi nirlaba internasional, People For the Ethical Treatment of Animals (PETA) melayangkan surat aduan terkait perlindungan hewan.
Surat aduan resmi kepada Kementerian Perdagangan dan Kementerian Lingkungan Hidup, terkait perlakuan ke hewan luwak di perkebunan kopi di Jawa Barat yang dianggap tak pantas.
Siaran pers yang dikutip KBMTV.ID, Kamis (20/11/2024), membuka hasil investigasi mereka di perkebunan kopi luwak di Jawa Barat, hidup dengan dengan luka terbuka dan berdarah-darah.
Investigasi PETA menyebut, hewan ini dibiarkan menderita dalam kerangkeng sempit penuh kotoran. kondisi mereka ditemukan di perkebunan kopi luwak di Jawa Barat yang menyuplai berbagai kafe di nusantara, serta melakukan ekspor ke sejumlah negara di berbagai belahan dunia.
PETA juga menyoroti adanya luwak dalam kondisi kritis, terbaring lemas dalam kandangnya yang kotor dan hampa. Penyelidik PETA di salah satu perkebunan menanyakan luwak tersebut kepada peternak yang menyatakan bahwa Luwak itu akan ‘dibuang’.
Tim dari PETA segera melarikan luwak tersebut ke klinik hewan, tetapi akhirnya gagal diselamatkan meski telah diberi perawatan intensif.
Dalam laporan PETA, tak hanya satu, ada banyak luwak lain dalam kondisi malnutrisi dan kehilangan sebagian besar bulunya, terjangkit parasit, serta menderita luka terbuka yang menyakitkan. Tim dari PETA juga menemukan luwak yang kehilangan sebagian penglihatannya.
Beberapa dari mereka tidak berhenti mondar-mandir di dalam kurungannya yang hampa—gejala zoochosis, gangguan psikologis akibat tekanan ekstrem, penderitaan, dan keputusasaan akibat terjebak dalam kurungan.
Terlepas dari penderitaan berkepanjangan, luwak-luwak ini masih terus dieksploitasi untuk memenuhi permintaan pasar atas kopi luwak.
Rekaman kamera tersembunyi juga memperlihatkan peternak memberi makan binturong—yang berstatus “rentan” dalam Daftar Merah Spesies Terancam Punah IUCN—dalam kurungan, yang ia miliki dan gunakan secara ilegal untuk memproduksi kopi yang dipasarkan sebagai kopi luwak.
Ekspor Kopi Luwak
Indonesia adalah produsen kopi luwak terbesar di dunia. Meski sering dipasarkan sebagai hasil dari alam “liar,” banyak peternak mengakui mustahil untuk memproduksi kopi luwak dalam skala industri jika hanya mengandalkan dari tangkapan liar.
PETA juga menyoroti penyalahgunaan hewan-hewan ini untuk memenuhi permintaan pasar kopi luwak yang terus meningkat, baik di dalam negeri maupun untuk ekspor.
“Penderitaan luar biasa yang dialami satwa liar dalam kurungan adalah cerminan industri kopi luwak. Luwak, juga binturong yang merupakan satwa liar dilindungi, ditangkap secara ilegal dan dikurung dalam kondisi menjijikkan, disiksa fisik dan mentalnya, tanpa perawatan memadai, dan dibiarkan menggila—jika mereka tidak lebih dulu mati,” ujar PETA Senior Vice President Jason Baker.
Pelabelan “luwak liar” juga merupakan praktik umum dalam industri kopi luwak untuk mengelabui konsumen dan pe-ritel.
Seorang peternak bahkan mengatakan kepada penyelidik PETA bahwa ia melabeli produknya sebagai kopi luwak liar meski menggunakan luwak tangkapan yang ia kurung.
“Karena kan luwaknya liar, tapi [kami] kandang,” tulis Jason Baker.
Serukan Boikot
PETA mengajak konsumen untuk melawan kekejaman mengerikan ini dengan berhenti membeli kopi luwak, serta membagikan informasi ini untuk mengedukasi publik.
Meski terdaftar sebagai spesies dilindungi dalam Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Flora dan Fauna Liar (CITES), luwak atau musang pandan Asia umumnya ditangkap dari alam ketika berusia sekitar enam bulan, dan hampir secara eksklusif diberi makan biji kopi, praktik yang menyebabkan mereka menderita malnutrisi, penyakit kulit, dan problem pencernaan yang menyakitkan.
PETA menekankan bahwa menempatkan hewan dalam kurungan dengan kotorannya, tanpa kesempatan untuk keluar atau bersosialisasi, dapat menurunkan pertahanan sistem imun mereka.
Kondisi ini ideal sebagai tempat berkembangbiak penyakit zoonosis yang secara mudah bermutasi dan menyebar ke manusia. Sebelumnya, SARS, penyakit dengan perkiraan 15% tingkat kematian manusia, telah menyebar dari musang ke manusia.[]