KBMTV.ID | Kebijakan yang dilakukan Dedi Mulyadi yang mengirim siswa bermasalah ke barak militer menuai kritik dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang telah realisasikan sejak awal Mei 2025.
Kebijakan itu tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 43/PK.03.04/Kesra. Program ini menyasar peserta didik dengan perilaku khusus seperti tawuran, merokok, mabuk, hingga penggunaan knalpot brong.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai Program Pendidikan Karakter Panca Waluya Jawa Barat Istimewa atau pendidikan barak militer yang diusung Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, berpotensi melanggar prinsip pemenuhan hak anak.
“Salah satu bentuk pelanggaran terhadap prinsip ini tercermin dari adanya praktik diskriminatif dan tidak dilibatkannya anak dalam proses, yang kemudian menimbulkan stigma negatif seperti label anak nakal atau anak bermasalah terhadap peserta program,” kata Ketua KPAI Ai Maryati Solihah dalam konferensi pers daring di Jakarta, Jumat (16/5/2025).
KPAI juga menilai pengiriman anak ke barak militer yang dilakukan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tidak memberikan dampak jangka panjang terhadap pembentukan karakter anak. Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menyebut pendekatan bergaya militer dalam mendidik anak yang dianggap memiliki perilaku menyimpang hanya efektif dalam waktu singkat.
“Sejumlah kajian akademik dan riset menunjukkan bahwa penanaman karakter dengan pendekatan pendidikan militer hanya memberikan dampak sementara, terlebih jika tidak didukung oleh ekosistem pemenuhan hak yang optimal,” kata Ai Maryati dalam konferensi pers secara daring pada Jumat, 16 Mei 2025.
Ia mengatakan program pendidikan tersebut harus dijalankan dengan menghormati, melindungi, dan memenuhi prinsip-prinsip dasar pemenuhan hak anak, yakni non-diskriminasi, kepentingan terbaik anak, hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak.
“Prinsip-prinsip tersebut harus menjadi landasan utama dalam setiap kebijakan yang menyangkut anak, agar mereka mendapat perlakukan sama, kebutuhan mereka menjadi prioritas, dan pendapat mereka didengar,” kata dia.
KPAI menekankan pentingnya keterlibatan peran pengasuhan keluarga, dukungan dari satuan pendidikan, serta lingkungan sosial yang kondusif. Ai Maryati mengingatkan tanpa dukungan menyeluruh, anak berisiko mengalami kembali perilaku negatif meski telah mengikuti program pembinaan di barak militer.
“Perlindungan dan pendidikan karakter anak tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada pendekatan keras dan terpisah dari keseharian mereka. Dibutuhkan ekosistem yang memastikan hak-hak anak tetap dipenuhi secara komprehensif,” ujarnya.
KPAI sebagai bagian dari pengawasan perlindngan anak, telah melakukan kunjungan ke lokasi program di barak militer Resimen 1 Sthira Yudha Purwakarta dan Depo Pendidikan Bela Negara Rindam III Siliwangi, Cikole, Kabupaten Bandung Barat. KPAI berdialog dengan peserta didik, penyelenggara program, serta dinas terkait untuk menilai langsung pelaksanaan kegiatan.
Ai mengatakan pengawasan dilakukan melalui penyebaran instrumen kepada 90 anak peserta, wawancara tertutup, serta pengamatan langsung terhadap kegiatan pelatihan, proses makan, dan kondisi sarana prasarana. Hasil awal menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas dan dampak jangka panjang program tersebut terhadap tumbuh kembang anak.
KPAI menemukan peserta program tidak ditentukan berdasarkan asesmen psikolog profesional, melainkan hanya rekomendasi guru Bimbingan Konseling (BK). KPAI juga mencatat 6,7 persen siswa menyatakan tidak mengetahui alasan mereka mengikuti program itu.
“Temuan ini menunjukkan perlunya peninjauan kembali terhadap ketepatan sasaran peserta dalam pelaksanaan program,” kata Wakil Ketua KPAI Jasra Putra.
Kunjungan KPAI bertujuan mendapatkan informasi yang akurat tentang realisasi pelaksanaan program.[]