KBMTV ID

Madame Wellington Koo, Ibu Negara China Kelahiran Semarang

madame Wellington Koo atau Oei Hui Lan bersama dengan Ratu kerajaan Inggris Ratu Elizabeth. | Istimewa

KBMTV.ID | Ternyata ada seorang perempuan kelahiran Indonesia yang menjadi ibu negara atau first lady negara China. Madame Wellington Koo (Oei Hui Lan), seorang perempuan yang menjadi istri dari Presiden China yang tercatat dalam sejarah.

Adalah Oei Hui Lan, perempuan kelahiran Semarang 21 Desember 1889 dari pasangan Oei Tiong Ham dan Goei Bing Nio.

Ayahnya Oei Tiong Ham adalah taipan yang bermukim di Semarang sebagai taipan Gula Dunia yang merajai pasar dunia pada saat itu.

Dalam memoar berjudul Oei Hui Lan, kekayaaan ayahnya pada saat itu diperkirakan mencapai 200 juta gulden atau sekarang setara dengan Rp 44 triliun.  Bahkan rumahnya di Semarang kala itu memiliki luas 80 hektar yang terdapat vila pribadi dan paviliun.

Indrawan Sasongko dalam buku 1000 Tahun Nusantara yang diterbitkan pada tahun 2000 menulis, “Koran-koran berbahasa Belanda bahkan menyebutnya sebagai orang yang paling kaya di kawasan antara Shanghai dan Australia.”

“Jangankan hanya memiliki sepetak rumah dan mobil mewah, sekalipun negara kecil di Singapura, Indrawan menyebut “seperempat dari seluruh tanah dan bangunan di pulau itu milik konglomerat ini.”

Sejarah konglomerasi menyebut nama perusahaannya, yaitu Oei Tiong Ham Concern, merupakan nama besar dalam dunia bisnis yang sohor sejak tahun 1900-an sampai tahun 1960.

Bahkan orang terkaya se-Asia Tenggara saat itu bukan hanya  memiliki pabrik di Pulau Jawa, tapi juga Singapura, London, Paris, Cina, dan kota lainnya. Dengan kekayaan ayahnya, Hui Lan dibekali kehidupan bergelimangan harta, pakaian mewah, perhiasan mahal yang menunjukkan kastanya, berbagai kursus seperti berkuda hingga kursus bahasa yang membuatnya menguasai emat bahasa termasuk Inggris dan Perancis.

Oei Tion Ham sang ayah dengan memiliki 18 selir dan 42 anaknya, membuat keberadaan Hui Lan, ibu dan kakaknya menjadi terancam. Para selir selalu berusaha untuk menggantikan ibu Hui Lan untuk menjadi istri sah ayahnya hingga akhirnya menguasai seluruh harta ayahnya.

Pindah Ke London

Kehidupan keluarganya yang seperti itu, ternyata  membuat Hui Lan mencari-cari kasih sayang di luar keluarganya. Suatu saat Ia, ibu dan kakaknya berlibur ke Singapura, untuk perama kalinya Ia menemukan cinta yang sialnya adalah seorang pria beristri. Pengalaman pahit itu membuatnya malas untuk menjalin hubungan lagi dengan pria, dan menyetujui ibunya untuk pindah tinggal ke London bersama kakaknya yang telah menikah.

Saat mulai masuk menjadi penghuni kota London, Hui Lan dan ibunya menjadi orang yang sangat norak dan terkesan pamer. Ibunya yang terobsesi untuk menjadikan Hui Lan wanita terpandang dan bisa berbaur dengan para socialita membekali Hui Lan dengan gaun-gaun mewah dan perhiasan mahal setiap mereka akan mengunjungi pesta.

Mulai asyik dengan kehidupan barunya, Hui Lan menjadi sangat terbiasa berpesta, mengikuti acara para socialita Eropa, berteman dengan keluarga kerajaan, bergaul dengan pria bule, hingga terbiasa dengan kebiasaan ibunya untuk memberikan perhiasan mahalnya ke orang yang dekat dengannya.

Perkenalan Hui Lan dengan suaminya, Wellington Koo terjadi pertama kali di London, sekitar tahun 1920-an. Saat itu, Hui Lan berstatus sebagai janda dan sudah bermukim di London bersama ibunya.

Sementara Koo adalah duda yang jadi diplomat mewakili China. Posisi Koo saat itu adalah orang terpenting kedua di China.

Ibu Negara

Dalam “Makers of the Modern World: Wellington Koo (2008)”,  menyebut dia kerap membuat kebijakan dan memimpin langkah diplomasi China di dunia. Salah satu kiprahnya jadi salah satu pembentuk Liga Bangsa-Bangsa.

Setelah merasa cocok, Oei Hui Lan dan Wellington Koo menikah di Brussel pada 1921. Setahun kemudian, jabatan Koo naik menjadi Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan China.

Pada masa-masa ini, Hui Lan resmi menjadi istri pejabat dan mencapai puncaknya pada 1926. Setelah Presiden China, Sun Yat Sen wafat, Koo lantas menjadi pelaksana tugas Presiden Republik China, yang lantas membuat Oei Hui Lan praktis jadi ibu negara.

Dia bercerita di memoarnya kalau sang suami selalu mengawal eksistensi Republik China dengan menggalang dukungan di seluruh dunia. Kemanapun suaminya pergi, Oei Hui Lan berada di sisinya sebagai pendamping sampai berhenti menjabat pada 1927.

Selama pernikahannya dengan Wellington Koo, ia tidak pernah menerima uang yang cukup bila dibandingkan dengan pemberian dari ayahnya.

Oei Hui Lan yang terbiasa dengan harta dan kehidupan mewah, ia  pun tak pernah segan mengeluarkan uang pribadinya untuk membahagiakan hidupnya. Mulai dari merenovasi rumah, menghias dirinya seperti kebiasaannya, memelihara banyak anjing sebagai temannya, dan masih banyak hal lainnya.

Gaya hidupnya yang mewah itu berujung dengan kecurigaan media China, karena saat itu Hui Lan lebih dikenal sebagai Madame Wellington Koo.

Hal itu tetap tidak membuatnya kapok, Hui Lan tetap memakai uang sesuka hati, bahkan meminta uang pada ayahnya untuk segala keperluannya.

Gaya Hidup

Sampai suatu ketika, Ia bersama suami dan anaknya mengunjungi Singapura untuk bertemu ayahnya. Ketika itu ternyata ayahnya telah menikah lagi dengan keponakan ibunya, Ia sangat kaget dengan pola hidup ayahnya yang telah berubah 180 derajat.

Ayahnya yang kaya raya malah hidup sederhana, bahkan cenderung prihatin untuk ukurannya. Hidup di ruko kecil di daerah kumuh Singapura. Berbanding jauh sekali dengan kehidupannya saat di Semarang yang memiliki Istana. Ia berpikir dan bertanya mengapa ayahnya mau memilih kehidupan seperti itu, namun sepertinya Ia belum mengerti keputusan ayahnya.

Ia masih terus hidup berfoya-foya, sampai akhirnya perang Dunia Kedua merenggut seluruh hartanya di China. Ia hanya bisa meratapi semuanya, namun tetap tidak mau merubah pola hidupnya yang bak putri di pesta dansa.

Kepergian satu- persatu dari ayahnya, ibunya, lalu disusul kakaknya akhirnya mulai menyadarkannya akan  harta yang ternyata tidak bersifat kekal, dan malah menghancurkan keluarga mereka.

Setelah tak lagi jadi ibu negara pada tahuan 1927, Hui Lan tinggal bersama suaminya di berbagai kota. Mulai dari Shanghai, Paris, hingga London.

Hubungan keduanya berakhir perceraian pada 1958, kemudian Oei Hui Lan tinggal di New York untuk membesarkan ketiga anaknya.

Masa Tua

Kendati demikian dia tidak melupakan tanah kelahirannya di Indonesia. Dia tercatat pernah berbisnis di Indonesia. Mengacu paparan Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia (2009), pada 1986 Hui Lan berbisnis kapal, tembakau dan sepeda di Indonesia, tetapi semuanya gagal.

Apartemen kecilnya di Amerika Serikat mengalami perampokan, saat Oie Hui Lan menjalani kehidupan di masa tuanya. Akhirnya membuat dirinya tersadar bahwa Ia tidak bisa selalu hidup memamerkan hartanya, dan membawa-bawa hartanya ke manapun Ia pergi. Ia pun mulai menyimpan seluruh harta dan perhiasan mewahnya di bank, dan hanya menyisakan sedikit di apartemennya.

Kehidupannya yang bergelimangan harta, namun tetap tidak bisa membeli cinta dan kebahagiaan terasa begitu sayang baginya untuk dilewatkan.

Bersama temannya, Hui Lan pun membuat sebuah buku yang hanya terbit di Amerika. Kisah hidup dalam bukunya itu berjudul “No Feast Last Forever”, Tidak ada pesta yang tak berakhir.

Bahkan pertemuan pun akan mengalami perpisahan. Segala pesta, kehidupan glamor, kemewahan harta, dan segala sesuatu yang menyertainya pada akhirnya akan habis juga. Kebahagiaan yang justru tak lekang oleh waktu justru tidak pernah Ia miliki, dan malah menjadi hal yang paling disesalinya seumur hidupnya.

Perempuan kelahiran Semarang itu akhirnya meninggal dunia pada 1992 di New York Amerika Serikat.[]

Berita Terkait