KBMTV.ID | Tidak tepat sasaran, negara menggelontorkan subsidi dan kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM) pertalite bersubsidi yang menikmati malah orang kaya.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) membongkar pemakaian BBM bersubsidi saat ini, yakni pertalite dan biosolar, ternyata lebih banyak disedot orang kaya.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves Rachmat Kaimuddin merinci, 80 persen pertalite dan 95 persen dipakai orang mampu. Hal ini yang menjadi landasan pembatasan BBM bersubsidi.
Baca Juga: Elektablitas Paslon Dedi–Erwan Moncer di Pilkada Jawa Barat
Data Rachmat mengutip survei dari Kementerian Keuangan (Keuangan) yang membagi konsumsi BBM bersubsidi dari 10 kelompok rumah tangga. Semakin tinggi tingkatnya menunjukkan kemampuan finansial mereka.
“Di sini kita lihat nomor 5-nomor 10 berarti yang tengah sampai paling tinggi mengambil 95 persen solar dan 80 persen bensin (pertalite) bersubsidi. Jadi, yang menikmati malah golongan atas (orang kaya). Makin tinggi (tingkat rumah tangga), dia makin gede dapatnya,” tuturnya dalam Diskusi di Kemenko Marves, Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Negara, menurut Rachmat menggelorokan uang untuk subsidi dan kompensasi BBM pada periode 2019-2023 sebesar Rp 119 triliun per tahun.
“Jadi, ini (Rp119 triliun per tahun) uang tax payer kita diberikan untuk subsidi dan kompensasi BBM. Yang menjadi isu, ternyata subsidi BBM ini bukan dinikmati golongan menengah bawah, tapi sebenarnya banyak dinikmati sama menengah atas,” ungkap Rachmat.
“Kita lihat hari ini penyaluran BBM subsidi yang harusnya dinikmati golongan yang ekonominya lebih rentan atau lemah, ternyata malah dinikmati golongan lebih kuat. Jadi, perlu dibuat subsidinya ini lebih tepat sasaran,” tegas Rachmat.
Salah Sasaran Subsidi BBM
Rachmat menegaskan tidak tepat jika negara malah menambah anggaran. Menurutnya, ini harus dibarengi dengan pengetatan subsidi BBM.
Ia membeberkan tiga skema awal yang dipikirkan pemerintah. Pertama, Rachmat menyinggung ide soal menaikkan harga BBM subsidi.
Namun, ia menegaskan langkah tersebut tidak diambil pemerintah. Rachmat paham ada kelas menengah yang pasti terdampak jika harga BBM subsidi dipaksa naik.
Kedua, negara akan menanggung biaya subsidi. Rachmat menilai opsi ini kurang tepat, terlebih terbukti penyaluran pertalite dan lain-lain selama ini tidak tepat sasaran.
“(Ketiga) mungkin menarik jika kita tanggung di APBN, tapi kita juga memperbaiki penyaluran BBM bersubsidi ini. Kita buat lebih tepat sasaran, jadi win-win. Tidak ada beban tambahan secara umum dari APBN, isu subsidi belum terlalu tepat bisa kita improve,” jelasnya.
Rachmat juga merinci bagaimana setiap kendaraan menerima porsi dari subsidi selama ini.
Ia menegaskan motor menjadi penerima manfaat subsidi paling rendah, karena penggunaan BBM-nya juga sedikit.
Asumsi Kemenko Marves, pengguna pertalite menerima besaran subsidi sekitar Rp1.600-Rp2.000 per liter. Sedangkan pembeli biosolar bisa menerima manfaat subsidi sekitar Rp5.000 per liter.
“Misal, orang naik motor pakai bensin tertentu menikmati subsidi BBM Rp1, tapi orang pakai LCGC akan dapat Rp4, low MPV Rp4,6, MPV Rp5, SUV diesel Rp10,9-Rp13,1,” tutur Rachmat.
“Diesel itu gak ada LCGC-nya, gak ada mobil murah. Motor cuma Rp1, diesel sampai Rp13. Itu kita pikir perlu kita align-kan,” tandasnya.[]