KBMTV ID

LBH Kecam Istilah “Oknum” Dalam Kasus Polisi Peras Penonton DWP

DJ Argy
DJ Argy dalam konser Djakarta Warehouse Project di Jakarta (13-15 Desember 2024) | Foto: IG djakartawarehouseproject

KBMTV.ID |  Insititusi Polri kembali tercoreng dengan kejadian kasus polisi peras penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024, diduga pelakunya 18 polisi lintas satuan wilayah hukum Polda Metro Jaya.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengecam tindakan tersebut sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia (HAM).

Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, menegaskan bahwa peristiwa ini lebih dari sekadar kesalahan individu.

Ia menyebutkan bahwa tindakan tersebut mencerminkan masalah struktural dalam tubuh Polri yang perlu segera diatasi.

“LBH Jakarta menilai bahwa kejadian ini bukan hanya sekadar masalah oknum belaka. Kejadian ini harus dipandang sebagai bagian dari permasalahan serius yang sudah berurat berakar dalam tubuh Polri secara institusional,” ujar Fadhil Alfathan dalam keterangan tertulis, Minggu 22 Desember 2024.

Fadhil mengatakan, secara regulasi tes urine hanya dapat dilakukan dalam konteks penegakan hukum pada saat penyidikan.

Menurutnya, polisi tidak bisa secara acak memaksakan pelaksanaan tes urine tanpa ada kepastian bahwa prosesnya sudah bergulir di ranah penyidikan, apalagi terdapat tindakan pemerasan terhadap pengunjung.

“Tak tanggung-tanggung, para pengunjung yang kebanyakan turis mancanegara dipaksa untuk membayar sebesar RM 9 juta atau setara Rp 32 miliar agar dilepas,” ucapnya.

Untuk itu, LBH juga mengecam pengggunaan istilah ‘oknum’ yang digunakan Polri terhadap polisi dalam kasus polisi peras penonton DWP asal Malaysia itu.

Menurutnya, penggunaan istilah tersebut tak lebih dari upaya menyederhanakan persoalan dan lari dari tanggung jawab kelembagaan.

“Akibatnya, Polri makin jauh melenceng dari mandat konstitusionalnya sebagai alat negara yang bertugas melakukan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat serta melakukan penegakan hukum,” lanjutnya.

Fadhil  mencontohkan saat Kepala Biro Penerangan (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko saat membuat siaran pers pada Jumat, 21 Desember 2024.

“Ia menyatakan ‘Kami memastikan tidak ada tempat bagi oknum yang mencoreng institusi’,” ujar Fadhli menirukan pernyataan Trunoyudo.

Sanksi Polisi Pelaku

Fadhil juga mengomentari pemeriksaan terhadap 18 personel Polri oleh Bidang Propam Polda Metro Jaya yang diasistensi Divisi Propam Mabes Polri.

Menurutnya, pemeriksaan etik saja tidak cukup, karena polisi yang terlibat harus diproses pidana.

“Sanksi etik tanpa proses pidana, atau bahkan tanpa sanksi sama sekali, merupakan pola yang jamak untuk melanggengkan impunitas polisi,” tuturnya.

Lembaga yang didirikan oleh pengacara senior Adnan Buyung Nasution ini, Tim pemantauan dan pendampingan LBH Jakarta, menemuka terdapat 58 kasus penyiksaan yang pelakunya tidak dihukum secara pidana dan etik sepanjang 2013-2022. Khususnya dalam kasus-kasus yang menyita perhatian publik.

Salah satunya adalah kasus represivitas dan penangkapan massal terhadap demonstran Reformasi Dikorupsi 2019, demo penolakan Omnibus Law Cipta Kerja 2020, atau Peringatan Darurat 2024.

“Hingga saat ini tak ada proses sama sekali terhadap pelakunya, baik secara etik maupun pidana,” ujar dia.

LBH Jakarta mendesak Kapolri Inspektur Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk meminta maaf kepada korban atas perilaku lancung anggotanya, juga berkomitmen mengungkap dan menyelesaikan kasus secara komprehensif, transparan dan akuntabel.

“Serta menindak tegas para pelakunya, yang tidak terbatas hanya pada pelaku level lapangan,” kata Fadhil.

Diketahui sejumlah penonton konser yang berasal dari Malaysia dilaporkan menjadi korban pemaksaan tes urine yang disertai dengan tuntutan pembayaran besar.

Kasus pemerasan yang diduga melibatkan anggota polisi kembali mencuat setelah pergelaran Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024.[]

Berita Terkait