KBMTV.ID | Cuaca dan suhu dingin di Gaza, Palestina, menjadi ancaman serius anak-anak dan ratusan ribu orang yang mengungsi di tenda-tenda akibat rumah-rumah mereka yang telah hancur dari gempuran Israel.
Beigbeder, Direktur Regional UNICEF untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, melaporkan dalam sebuah pernyataan pada hari Jumat, (27/12/2024) dari Kementerian Kesehatan Palestina, empat bayi baru lahir dan bayi meninggal dalam beberapa hari terakhir akibat hipotermia (suhu tubuh turun drastis hingga di bawah 35 derajat celcius)
“Kematian yang dapat dicegah ini menunjukkan kondisi yang menyedihkan dan memburuk yang dihadapi keluarga dan anak-anak di seluruh Gaza,” kata Beigbeder dikutip KBMTV.ID dari laman resmi PBB, Senin (30/12/2024).
Beigbeder menuturkan, kondisi suhu yang akan terus turun dalam beberapa hari mendatang, akan mengancam nyawa anak-anak.
“Dengan suhu yang diperkirakan akan terus turun dalam beberapa hari mendatang, sangat tragis dapat diperkirakan bahwa lebih banyak lagi nyawa anak-anak yang akan hilang akibat kondisi tidak manusiawi yang mereka alami”.
Pejabat senior itu menggarisbawahi fakta bahwa, di luar ancaman serangan yang terus-menerus, banyak warga Gaza hidup tanpa gizi, atau perawatan kesehatan. Tempat penampungan sementara mereka, katanya, tidak memberikan perlindungan dari cuaca dingin.
Menurutnya, UNICEF dan badan PBB lainnya telah sering melaporkan bahwa, terlalu sering, konvoi bantuan tidak diberi izin untuk memasuki Jalur Gaza dan mengirimkan pasokan kepada mereka yang membutuhkan.
Beigbeder mencatat bahwa, pada bulan November, rata-rata 65 truk berisi bantuan memasuki wilayah kantong itu setiap hari, jumlah yang terlalu sedikit untuk memenuhi kebutuhan mendesak anak-anak, wanita, dan warga sipil lainnya.
Ia mengatakan Program Pangan Dunia (WFP) dan Badan Bantuan Pangan Darurat PBB dalam sebuah posting media sosial pada hari Jumat (27/12/2024), dalam posting media sosialnya telah menyerukan agar semua akses penyeberangan ke Gaza dibuka,
WFP menyatakan bahwa mereka hanya mampu mendatangkan sekitar sepertiga dari makanan yang dibutuhkan untuk mendukung warga di Gaza, dan bahwa “kelaparan ada di mana-mana”.
Sebelumnya, pada bulan Maret 2024, Badan Bantuan Anak-anak PBB (UNICEF) melaporkan 31 persen anak-anak di Jalur Gaza Utara atau satu dari tiga anak di bawah usia 2 tahun menderita kekurangan gizi akut, bahkan meningkat dari sebelumnya pada bulan Januari yang 15,6 persen.
Bedaraskan data Unicef, malnutrisi di kalangan anak-anak menyebar dengan cepat dan mencapai tingkat yang menghancurkan dan belum pernah terjadi sebelumnya di Jalur Gaza karena dampak perang yang luas dan pembatasan yang berkelanjutan pada pengiriman bantuan.
Setidaknya, pada bulan Maret 2024 itu, 23 anak di Jalur Gaza Utara dilaporkan meninggal dunia akibat kekurangan gizi dan dehidrasi dalam beberapa minggu terakhir, menambah jumlah korban tewas anak-anak di Jalur Gaza dalam konflik saat ini yang terus bertambah – sekitar 13.450 dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan Palestina.
Pemeriksaan gizi yang dilakukan oleh UNICEF dan mitra di wilayah utara pada bulan Februari menemukan bahwa 4,5 persen anak-anak di tempat penampungan dan pusat kesehatan menderita kekurangan gizi parah, bentuk kekurangan gizi yang paling mengancam jiwa, yang menempatkan anak-anak pada risiko tertinggi komplikasi medis dan kematian kecuali mereka menerima terapi makanan dan perawatan yang mendesak, yang tidak tersedia. Prevalensi kekurangan gizi akut di antara anak-anak di bawah usia 5 tahun di wilayah utara telah meningkat dari 13 persen menjadi 25 persen.
“Kecepatan terjadinya krisis malnutrisi anak yang sangat parah di Gaza ini sungguh mengejutkan, terutama ketika bantuan yang sangat dibutuhkan sudah siap sedia hanya beberapa mil jauhnya,” kata Catherine Russell, Direktur Eksekutif UNICEF dikutip KBMTV.ID, Senin (30/12/2024) dari laman resmi UNICEF.
“Kami telah berulang kali berupaya memberikan bantuan tambahan dan kami telah berulang kali menyerukan agar tantangan akses yang telah kami hadapi selama berbulan-bulan segera diatasi,” imbuh Catherine)
Sebaliknya, menurut Catherin, situasi anak-anak semakin memburuk dari hari ke hari.
“Upaya kami dalam memberikan bantuan yang menyelamatkan nyawa terhambat oleh pembatasan yang tidak perlu, dan pembatasan tersebut merenggut nyawa anak-anak,” jelasnya.[]