KBMTV.ID | PT Sepatu Bata Tbk (BATA) secara resmi menutup operasional pabrik sepatunya yang berada di Purwakarta, Jawa Barat, pada 30 April 2024.
Menurut catatan Bisnis.com, produsen sepatu merek Bata, membukukan kerugian sebesar Rp105,91 miliar sepanjang 2022 atau membengkak sebesar 106,85% dari rugi bersih tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp51,20 miliar.
Saat Manajemen PT. Sepatu Bata Tbk melakukan pertemuan dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkap berbagai alasan penutupan pabrik sepatu legedaris tersebut.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki (ITKAK) Kemenperin, Adie Rochmanto Pandiangan, dalam ketereangan resmi menjelaskan alasan keputusan pabrik Bata tutup, Rabu (8/5/2024).
“Awalnya keputusan penutupan pabrik diambil dengan alasan sebagai strategi bisnis perusahaan dalam rangka refocusing pada lini penjualannya (store),” ungkapnya.
Inefisiensi Produksi
Menurut Adie, salah satu faktor yang menyebabkan PT Sepatu Bata Tbk menutup pabrik di Purwakarta adalah inefisiensi produksi dan produk yang tidak memenuhi selera konsumen, sehingga perusahaan memilih untuk lebih fokus pada lini bisnis retail.
“Hal ini merupakan langkah perusahaan guna menghadapi persaingan industri sepatu di dalam negeri. Direksi menyampaikan, dalam rangka efisiensi dan memperhatikan trend pasar yang cepat dan bervariasi, maka PT Sepatu Bata Tbk fokus pada pengembangan produk dan desain yang memenuhi selera pasar,” lanjut Adie.
PT Sepatu Bata Tbk menyampaikan bahwa pabrik di Purwakarta sebenarnya hanya bagian kecil dari keseluruhan bisnis perusahaan.
“Dari sisi produksi, jumlah produksi sepatu di Purwakarta masih kecil jika dibandingkan dengan produsen sepatu lain,” tulis Adie.
“Karenanya, menurut manajemen, penutupan pabrik Purwakarta merupakan langkah paling realistis,” tulis Adie.
Selain itu, Adie mengungkap perusahaan berpendapat bahwa fokus pada bisnis retail saat ini penting untuk dilakukan. Sebab, perusahaan berupaya mengembalikan kinerja bisnis dan penjualan yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami penurunan.
Adie menyampaikan, PT Sepatu Bata Tbk berjanji strategi bisnis ini tetap menjamin produk yang dijual masih bersumber dari produsen dalam negeri yang selama ini bekerja sama dengan mereka. Produsen sumber mereka seperti PT Prestasi Ide Jaya dan enam pabrik lainnya.
“Strategi itu diharapkan dapat meningkatkan penjualan, yang pada gilirannya akan meningkatkan produksi di tujuh pabrik tersebut,” terang Adie.
“Dengan strategi tersebut, meskipun terjadi penutupan pabrik, jumlah sepatu produksi dalam negeri yang dipasarkan oleh PT Sepatu Bata Tbk secara agregat tetap sama dan bahkan akan ditingkatkan. Selain itu, pekerja di usia produktif yang terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan dialihkan ke pabrik sepatu lain di sekitar Purwakarta,” lanjut Adie.
Kurang Tepat
Menanggapi penjelasan PT Sepatu Bata Tbk, Kemenperin menilai langkah yang diambil perusahaan sebenarnya kurang tepat. Sebab, kondisi industri sepatu nasional tumbuh terus dengan kebijakan pengendalian terhadap impor barang jadi (konsumsi) dan jaminan bahan baku.
Oleh karena itu, Kemenperin berharap setelah kondisi perusahaan membaik, perusahaan suatu saat bisa membuka kembali pabriknya di Indonesia dengan kapasitas yang lebih besar.
Menurut Adie, salah satu faktor yang menyebabkan PT Sepatu Bata Tbk menutup pabrik di Purwakarta adalah inefisiensi produksi dan produk yang tidak memenuhi selera konsumen, sehingga perusahaan memilih untuk lebih fokus pada lini bisnis retail.
“Dari data yang ada, pabrik Sepatu Bata sebelum penutupan hanya menyisakan 233 orang karyawan dan produksi yang hanya 30% dari kapasitas. Di sisi lain terjadi juga penurunan produksi di pabrik tersebut, dari sebelumnya 3,5 juta pasang pada tahun 2018, menurun menjadi 1,15 juta pasang di tahun 2023,” jelas Adie.
Selanjutnya, PT Sepatu Bata Tbk mengalami dampak peningkatan kerugian setiap tahun, terus menurunnya nilai aset, menurunnya ekuitas, serta liabilitas yang terus meningkat,” jelas Adie.
Dalam dua tahun terakhir, Adie mengatakan penjualan Bata melalui toko-toko cenderung mengalami perbaikan.
Manajemen pun menyampaikan bahwa merek di bawah naungan PT Sepatu Bata Tbk seperti North Star, Power, Marie Claire, Bubblegummers, dan Weinbrenner masih berada di hati konsumen serta preferensi yang cukup baik di mata konsumen.
“Kami melihat bahwa strategi ini penting bagi perusahaan, seperti halnya merek-merek besar sepatu global yang berfokus pada pengembangan produk dan merek,” beber Adie.
Lindungi Pasar
Karenanya, Adie berharap Pemberlakuan Larangan dan Pembatasan (Lartas) untuk barang konsumsi alas kaki sesuai Permendag 36/2023 berikut perubahannya dapat melindungi pasar dalam negeri dari serbuan barang impor. Sehingga, penjualan produk dalam negeri akan terus tumbuh.
“Untuk PT Sepatu Bata Tbk, pemerintah juga terus mendorong agar meningkatkan ekspor dari hasil produksi dalam negeri sebagai bagian dari rantai pasok global merek Bata bersama afiliasinya di luar negeri,” imbuhnya.
Adie pun menegaskan, kebijakan lartas yang diterapkan oleh Pemerintah seharusnya dianggap sebagai angin segar bagi industri dalam negeri untuk terus meningkatkan produksinya.
Terbukti, kinerja industri kulit dan alas kaki pada triwulan I – 2024 mengalami peningkatan, ditunjukkan oleh pertubuhan sebesar 5,9% (YoY), peningkatan ekspor sebesar 0,95% (YoY), dan penurunan impor hingga 1,38% (YoY), dan kinerja Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang terus mengalami kenaikan secara berturut-turut mulai bulan November 2023 hingga Februari 2024.
“Hal ini menunjukkan impor yang mengalami penurunan, disubstitusi oleh industri dalam negeri ditandai dengan konsumsi dan nilai tambah yang mengalami peningkatan dengan kenaikan PDB,” pungkas Adie.[]