1`KBMTV.ID | Badai Pemutusan hubungan Kerja (PHK) menghantam sejak awal tahun ini, hingga 10 Maret 2025, dampaknya sebanyak 73.992 pekerja tidak lagi menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Berdasar data Kementerian Ketenagakerjaan, sejak awal tahun hingga April sebanyak 24.036 pekerja terdampak PHK, jumlah tersebut mencapai 28,74 persen dari total pekerja yang tidak lagi menjadi peserta BPJS Ketenaga kerjaan karena ter-PHK pada 2024 yang sebanyak 257.471 pekerja.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, tren data PHK itu mencerminkan tekanan berat yang dihadapi dunia usaha.
“Jelas kenaikan yang sangat signifikan dan tidak berhenti di sini. Makanya sekarang kenapa kita perlu revitalisasi padat karya? Karena PHK ini menjadi satu perhatian yang sangat menguatirkan buat kita,” ujarnya saat media briefing di Gedung Permata Kuningan, Jakarta, Selasa (13/5/2025).
Setidaknya menurut Shinta, ada lima penyebab utama pengusaha Indonesia melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Berdasar hasil survei Apindo kepada 350 perusahaan anggotanya selama 17-21 Maret 2025, sebanyak 69,4 persen responden menyetujui tekanan utama yang mendorong pengusaha melakukan PHK ialah karena penurunan permintaan.
Selain itu sebanyak 43,3 persen responden menjawab PHK dilakukan karena adanya kenaikan biaya produksi.
Sedangkan 33,2 persen beralasan karena adanya perubahan regulasi ketenagakerjaan seperti kenaikan upah minimum.
Tidak hanya itu, sebanyak 21,4 persen responden juga mengungkapkan alasan melakukan PHK karena tekanan produk impor dan 20,9 persen responden beralasan karena faktor teknologi.
Survei Apindo tersebut juga menunjukkan sebanyak 67,1 persen pengusaha tidak berencana melakukan investasi baru selama setahun ke depan.
Sementara, investasi baru ini dibutuhkan untuk pembukaan lapangan kerja baru setiap tahunnya. Sedangkan jumlah lapangan kerja yang tersedia saat ini jauh daari kebutuhan yang ada sehingga menyebabkan banyak PHK.
“Di sisi lain kita juga banyak pekerjaan-pekerjaan baru melalui investasi yang masuk. Namun kita mesti menyadari bahwa di luar daripada PHK kita juga harus menyiapkan 3-4 juta pekerjaan baru setiap tahunnya,” ungkapnya.
Sementara itu Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam menyatakan perlunya langkah deregulasi yang nyata dari pemerintah untuk menyelamatkan industri padat karya.
Ia menekankan kebijakan eksesif yang dinilai kontraproduktif di tengah melemahnya perekonomian dan meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Industri tembakau dan makanan minuman termasuk sektor padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja. Kita minta ada deregulasi, bukan malah meregulasi, karena kita menghadapi kelemahan ekonomi dan banyak tenaga kerja yang di-PHK,” ujar Bob dalam keterangannya, Selasa (13/5/2025).
Ia mengatakan bahwa pemerintah perlu melakukan relaksasi untuk mendorong aktivitas ekonomi domestik, terutama mengingat pasar ekspor saat ini sedang melemah. Semangat deregulasi sebenarnya sudah disampaikan oleh Presiden.
“Tidak hanya di Indonesia, hampir semua negara sekarang melakukan deregulasi karena pasar ekspor kita tidak bisa terlalu diandalkan,” jelasnya.
Bob mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam mengambil langkah agar tidak memicu efek domino dari kebijakan yang terlalu ketat.
Regulasi yang terlalu ketat bisa berdampak negatif secara luas dan menghantam banyak aspek kehidupan di luar industri. Terkait harapan kepada pemerintah, Bob mendorong agar kebijakan relaksasi dilanjutkan dan diterapkan secara terukur.
“Relaksasi harus dilakukan karena di satu sisi pemerintah sedang tertekan mengenai fiskal. Penerimaan negara berkurang, tapi jika relaksasi dilakukan secara tepat, ini akan terjadi pembalikan ekonomi dan revenue akan meningkat,” imbuhnya.[]