Istilah Tertiary Education ramai menjadi perbincangan seminggu terakhir, seiring dengan gelombang protes mahasiswa terhadap Uang Kuliah Tunggal yang tinggi.
Dalam forum resmi yang digelar Kemendikbudristek pada Rabu, (16/5/2024). Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Profesor Tjitjik Sri Tjahjandarie, Ph.D dalam forum itu, i menyebut Tertiary Education.
“Dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar,” kata Tjitjik.
Tjitjik menyebut pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti di negara lain. Sebab, bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional.
Pernyataan ini kemudian menyulut kehebohan masyarakat, netizen menjadikan bulan-bulanan guru besar bidang kimia organik Universitas Airlangga ini.
Pasalnya, menurut KBBI V, untuk kata ‘tersier’ sendiri artinya ‘yang ketiga’. Maka ‘tertiary education’ dapat pula dimaknai sebagai ‘pendidikan yang ketiga’, setelah pendidikan ‘secondary education (pendidikan menengah)’ yang selesai di SMA/sederajat.
Baca juga: Apa Maksud Pendidikan Tinggi Disebut Tertiary Education?
Maka masyarakat menilai, tidak ada hubungannya antara pendidikan yang ketiga dengan wajib belajar. Selain itu tidak ada hubungannya juga dengan bantuan operasional perguruan tinggi negeri yang selama ini menurut Tjitjik belum bisa menutup kebutuhan operasional.
Dengan kata lain, artinya selama ini BOPTN dipahami sebagai program untuk menggratiskan mahasiswa untuk berkuliah jika semua bisa tertutupi.
Sejatinya, Undang-Undang Nomor 12Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (2012) telah mengamanatkan melalui Pasal 85 ayat (5) bahwa Pemerintah mengalokasikan dana Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dari anggaran fungsi pendidikan yang bertujuan untuk menutupi kekurangan biaya operasional di perguruan tinggi.
Berdasar UU 12 tahun 2012 tersebut, maka BOPTN, prinispnya bukan menutupi seluruh operasional perguruan tinggi, melainkan untuk menutupi kekuarangan biaya operasional di perguruan tinggi.
Ini artinya, bisa jadi ada kekeliruan penafsiran soal BOPTN ini dalam penggunaan anggaran milik rakyat. Kekurangan BOPTN menjadi alibi untuk meminta tambahan anggaran pendidikan di perguruan tinggi.
Akses Pendidikan Tinggi
Bila merujuk catatan dari World Bank yang ditulis Mamta Murthi tahun 2021, perluasan aksesibilitas yang berkelanjutan tidak akan mampu menutupi kesenjangan pemerataan perguruan tinggi. Artinya, semakin banyak siswa yang mengakses pendidikan tinggi, namun secara global tidak berarti akan meningkatkan akses siswa yang berasal dari status sosial ekonomi rendah atau kelompok yang kurang terwakili.
Catatan Bank Dunia tersebut untuk menjawab persoalan UKT yang mahal, dengan jawaban Profesor Tjitjik Sri Tjahjandarie yang disebut oleh seorang anggota DPR tidak nyambung. Pandangan Profesor Tjitjik seolah DPR mengarahkan tertiary education diarahkan menjadi program wajib belajar, yakni UKT bisa gratis dengan solusi pembiayaan operasional perguruan tinggi negeri dengan menutup seluruh BOPTN.
Alibi untuk menutupi biaya operasional dan Penerimaan Negara Bukan Pajak ini pula yang kemudian mendorong perguruan tinggi negeri untuk membuka jalur mandiri. Namun pada kenyataannya, membuka akses jalur mandiri tidak membuka peluang status keluarga sosial rendah bisa mengkases Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Kenyataannya, akses jalur mandiri hanya bisa diakses oleh keluarga sosisal menengah, bahkan di PTN lebih banyak diakses oleh keluarga menengah atas.
Alih-alih ingin menutupi kekurangan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi, malah jadi meningkatkan PNBP dari perguruan tinggi.
Studi Akidah Fitrah dan Dodik Juliardi Universitas Negeri Malang tahun 2023 menunjukkan BOPTN tidak berpengaruh secara signifikan meningkatkan akreditasi program studi.
Kebijakan Pendidikan
Maraknya persoalan UKT mahal ini, sudah waktunya pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan perguruan tinggi. Intervensi pemerintah dalam memperbaiki kesiapan siswa setelah sekolah menengah, jauh lebih baik untuk menampung siswa yang tidak dari keluarga tidak mampu.
Selain itu, negara-negara juga harus mendorong pengembangan ekosistem pendidikan tinggi yang berkualitas tinggi, memiliki beragam pilihan dan jalur yang fleksibel, termasuk program pendidikan tinggi berkualitas tinggi dengan siklus pendek.
Secara bersamaan pemerintah membuka akses kepada kelompok yang ekonominya kurang beruntung melalui beasiswa berbasis sarana, program hibah atau pinjaman mahasiswa. Ini setidaknya mengurangi masalah mahasiswa yang terjebak dengan pinjaman online (pinjol).
Pemerintahan harus mempunyai tujuan dalam mendukung dan mengarahkan sistem pendidikan tinggi , termasuk universitas, politeknik, community college, dan institusi lainnya, untuk membangun sumber daya manusia bagi ekonomi pengetahuan abad ke-21.
Terlepas dari PDB dan status pendapatan negara, pemerintah memperioritaskan pembangunan pusat pendidikan tingkat lanjut dan pengembangan keterampilan. Peran lembaga lembaga-lembaga ini berpotensi menghasilkan pekerja terampil dan pemimpin yang diperlukan untuk menciptakan landasan yang stabil bagi tata kelola yang baik dan pertumbuhan ekonomi yang dinamis, serta mengatasi tantangan-tantangan mendesak seperti tantangan global.[]
Pemimpin Redaksi: Surya MP