KBMTV ID

Upaya ASEAN dalam Menangani Human Trafficking di Thailand

girl
Seorang gadis migran yang berasal dari Myanmar ke Thailand bersama keluarganya | Foto: ECPAT International

Penulis : Mutia Shafira

Perempuan di kawasan Asia Tenggara masih mendominasi masalah perdagangan manusia atau human trafficking.

Menurut (GSI, 2018) 71% dari 40,3 juta korban human trafficking itu adalah perempuan, terlebih lagi di dalam industri sex internasional.

Menurut Gender Equality The United Nations Entity (UN Women), jumlah perdagangan perempuan dan anak setiap tahunnya itu mencapai 225.000 jiwa.

Human trafficking ini menjadi masalah serius yang harus menjadi perhatian. Beberapa faktor yang menyebabkan perempuan menjadi korban kejahatan, diantanya masalah ekonomi, pendidikan yang rendah, ketimpangan gender, dan lemahnya kebijakan terhadap kontrol perbatasan antar negara.

Makin menjadi kompleks karena permasalahan ini melibatkan lintas negara atau trans-nasional. Hal ini lah yang menjadikan upaya penangggulangan perdagangan manusia yang melibatkan perdagangan perempuan dan anak melalui Association South East Asian Nations (ASEAN).

Perdagangan Manusia Di Thailand

Thailand merupakan negara yang menjadi salah satu negara pusat perdagangan manusia. Jumlah korban perdagangan manusia di Thailand ini mencapai 651.800 orang per tahunnya.

Thailand sendiri merupakan negara transit yang menjadikannya sebagai sumber kejahatan untuk perdagangan manusia.

Latar belakang korban dari perdagangan manusia yang terjadi biasanya karena kondisi ekonominya yang rendah, pendidikan yang rendah, serta tidak terdaftar menjadi penduduk nasional Thailand.

Korban yang pindah ke wilayah Thailand biasanya memiliki alasan ingin mencari pekerjaan yang baik. Namun mereka kemudian menjadi korban penipuan untuk dijadikan sebagai pekerja seks, para penjahat mengelabui dengan berkata kepada korbannya bahwa mereka punya utang yang harus dibayarkan.

Kemudian para korban terpaksa bekerja untuk membayar hutangnya, dan biasanya bekerja sebagai pekerja seks komerisal.

Kondisi dan permasalahan ini semakin meningkat di Thailand, karena belum terdapat hukum dan sanksi pidana terkait prostitusi. Perlindungan hanya berdasarkan pada norma-norma sosial yang melarang prostitusi.

Namun saat pemerintah akan membuat kebijakan mengenai prostitusi, yaitu pekerja prostitusi disana akan diancam denda 40 ribu bath atau dua tahun penjara, atau keduanya, para pekerja itu menolaknya dan mengajukan petisi penolakan kebijakan tersebut.

Mai Junta, perwakilan Empower, menyebutkan bahwa sebagian besar para pekerja prostitusi tersebut merupakan ibu rumah tangga dan sumber nafkah bagi keluarganya, itulah mengapa mereka menolak dan mengajukan petisi.

Sehingga pemerintah Thailand membuat proses amandemen terkait hukum prostitusi yang akan mendengarkan pendapat publk.

Persoalan lain, industri prostitusi di Thailand ini juga terjadi pengiriman yang menjangkau lintas negara untuk dijadikan ladang pekerja seks komersial.

Selain itu,  Thailand juga menjadi negara tempat transit aktivitas human trafficking, seperti para perempuan yang berasal dari Rusia, Amerika Selatan, Ceko, dan Polandia.

ASEAN sebagai salah satu pionir dalam menjaga keamanan di kawasan Asia Tenggara, dalam upaya mencegah human trafficking, menjadi salah satu jalan untuk upaya untuk menangani masalah human trafficking ini.

Peran ASEAN

ASEAN sendiri mempunyai beberapa kesepakatan yang telah menjadi ikatan diantara para negara anggotanya. Dalam hal perdagangan manusia, sudah memiliki ASEAN Convention of Human Trafficking yang bertujuan untuk menangani masalah human trafficking.

Karena instrumen ASEAN dan blueprint untuk ASEAN Community tentang human trafficking ini sejalan, maka ASEAN merasa perlu bahwa untuk menangani masalah ini, dibutuhkan perjanjian internasional yang kuat dengan pendekatan regional yang kompeherensif.

Hasilnya adalah dengan kesepatan ASEAN Convention Against Trafficking in Persons (ACTIP) atau ASEAN Plan of Action. Tujuan kesepakatan ini untuk menyediakan rencana yang dilakukan berdasarkan dengan hukum domestik dan kebijakan negara pelaksanaanya, dengan menggunakan ASEAN sebagai instrumennya.

Penggunaan instrumen Rencana Aksi ASEAN ini dengan mengacu pada Piagam ASEAN, konvensi PBB tentang kejahatan transnasional yang terorgansir. Acuan PBB ini mengacu pada protocol untuk mencegah dan menghukum human trafficking, khususnya perempuan dan anak. Termasuk juga mengacu pada konvensi tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan, konvensi hak anak.

Acuan lain untuk melawan human trafficking ini juga dengan Deklarasi ASEAN untuk memerangi human trafficking terutama perempuan dan anak yang telah disepakati pada tahun 2004. Kemudian Deklarasi HAM ASEAN yang akan dilakukan untuk melawan kejahatan transnasional. Pada tahun 2011 juga sudah ada dan joint statement para pemimpin ASEAN, guna meningkatkan Kerjasama anti human trafficking di Asia Tenggara.

Mutia

Penulis: Mutia Shafira.

Mahasiswi, Hubungan Internasional

Universitas Muhammadiyah Malang.

 

 

 

Disclaimer: Seluruh isi tulisan di luar tanggung jawab KBMTV, dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.